Sedangkan, rasio defisit anggaran terhadap PDB pada periode sepuluh tahun pemerintahan SBY hanya rata-rata 1,26 persen per tahun.
Yang lebih mengkhawatirkan, pengelolaan fiskal dan keuangan negara terkesan kurang bertanggung jawab, tidak menganut prinsip kehati-hatian.
Karena pemerintah menarik utang jauh lebih besar dari defisit anggaran. Sehingga rasio utang terhadap PDB mencapai rata-rata 3 persen per tahun selama periode 2015 hingga 2019.
Padahal defisit anggaran hanya rata-rata 2,3 persen per tahun selama periode tersebut.
Semua indikator fiskal di atas menunjukkan keuangan negara sangat rapuh. Pandemi hanya mempercepat proses rapuh menjadi kolaps.
Tren ke depan akan semakin buruk. Defisit anggaran semakin buruk, beban bunga semakin buruk.
Untuk memperbaiki fiskal dan keuangan negara yang rapuh ini pemerintah hanya dapat melakukan dua hal. Pertama, memangkas anggaran belanja negara dan defisit. Kedua, menaikkan pendapatan negara dengan menaikkan pajak.
Namun, apapun kebijakan yang diambil, keduanya akan mengakibatkan ekonomi masuk resesi.
Karena memangkas anggaran belanja negara atau menaikkan pajak mengakibatkan kontraksi tajam pada sisi permintaan. Resesi tidak bisa terhindarkan. Tinggal tunggu waktu saja.
Pemerintah mungkin akan mengambil kebijakan ‘akrobatik’ dengan terus meningkatkan defisit anggaran.
Jumlahnya tidak akan kurang dari Rp1.000 triliun dalam waktu beberapa tahun ke depan.
Dalam hal ini, Bank Indonesia akan diminta menanggung beban fiskal tersebut, melalui ‘cetak uang’: yaitu, pembelian surat utang negara di pasar primer.
Tapi, semua ini akan memperparah kondisi perekonomian nasional.
Utang akan membengkak menuju 60 persen terhadap PDB dalam beberapa tahun ke depan, kalau ekonomi masih bisa bertahan. Pada saatnya ekonomi akan crash, masuk resesi berkepanjangan.
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta
Komentari tentang post ini