Permainan intrik kadang bisa ditemukan dalam tuntutan perkara atau dalam mereka membangun opini. Misalnya, salah satu fakta intrik yang muncul ketika terdakwa hanya dituntut satu tahun penjara.
Padahal perkara penyiraman air keras bukan perkara ringan, bukan perkara lucu lucuan, tapi perkara kekerasan alias kriminal yang bisa menghilangkan nyawa orang lain.
Kemudian, tuntutan satu tahun penjara benar benar untuk menyelamatkan terdakwa daripada mengungkap fakta fakta motif penyiraman air keras tersebut. Lalu, agar penyelamatan terdakwa bisa berjalan mulus, semulus betis perempuan seksi. Maka JPU harus menguasai pengadilan dan mengubah kaya panggung sandiwara.
Makanya tidak salah, JPU dalam membentuk opini kei publik, secara kasar terus menerus “menyerang” Novel. Supaya pengadilan dapat dikuasai Untuk disulap menjadi ajang membela para terdakwa.
Akibatnya, proses sidang seperti terjadi pemutarbalikkan kejahatan menjadi kebenaran.
Apapun yang dilakukan kedua terdakwa atas diri Novel merupakan kebenaran, atau kelaziman lantaran Novel dinilai sebagai seorang penghianat dan berani melawan kepada institusi Polri.
Dan saat ini, opini telah terbentuk, dan pengadilan untuk sementara sudah dikuasai para terdakwa. Selanjutnya, mari kita tunggu sikap hakim dalam menghadapi tuntutan dan opini JPU. Apakah Hakim akan mengabai tuntutan Jaksa atau setuju dengan tuntutan Jaksa yang secara terang terangan pembela para terdakwa.
Atau jangan jangan hakim mempunyai keputusan sendiri membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan.
Kalau hakim setuju dengan tuntutan Jaksa, berarti dewi keadilan telah dibunuh, telah wafat. Atau bisa juga, dewi keadilan siap siap untuk minggat, terbang menuju ke surga lantaran tidak betah tinggal di pengadilan yang bobrok.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) di Jakarta
Komentari tentang post ini