Oleh: Dr Ferlansius Pangalila, SH, MH
“Kekerasan itu terjadi dua kali: pertama di tubuh, kedua di ingatan. Yang kedua datang dari mereka yang seharusnya melindungi”
Kerusuhan Mei 1998 merupakan tragedi sosial yang menyisakan luka kolektif, terutama bagi perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual berbasis etnis dan gender.
Lebih dari dua dekade berlalu, luka itu belum benar-benar sembuh, bukan hanya karena kekerasannya amat brutal, tetapi karena negara belum sepenuhnya hadir dalam pengakuan, perlindungan, dan pemulihan korban.
Ketika suara publik kembali mempertanyakan keberadaan korban atau menyangkal kekerasan yang terjadi, hal itu tak bisa dibenarkan sebagai kebebasan berpendapat belaka.
Dalam perspektif viktimologi, sikap semacam itu merupakan bentuk viktimisasi sekunder, yakni luka lanjutan yang dialami korban akibat respons sosial yang meragukan atau mengabaikan penderitaan mereka.
Lebih jauh, klarifikasi publik oleh Menteri Kebudayaan yang menyangsikan kembali kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 mengarah pada apa yang disebut sebagai reviktimisasi simbolik.