Oleh: Anthony Budiawan
Defisit anggaran 2020 tercatat Rp956 triliun. Sekitar 37 persen dari Belanja Negara Rp2.589 triliun.
Atau hampir sama besar dengan penerimaan pajak negara sebesar Rp1.070 triliun.
Meskipun defisit “hanya” Rp956 triliun, tetapi penarikan utang neto mencapai Rp1.227 triliun.
Ada selisih Rp270 triliun, untuk apa?
Defisit anggaran 2020 ini sekitar 6,3 persen dari PDB. Tidak masalah. Karena sejak 2020, batasan peraturan defisit 3 persen dari PDB sudah tidak berlaku.
Karena sudah dibatalkan oleh PERPPU No 1 Tahun 2020 yang disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020, sehingga defisit anggaran menjadi tidak terbatas.
Maka, target defisit anggaran 2021 juga tinggi, Rp1.006 triliun, atau sekitar 5,7 persen dari perkiraan PDB. Untuk Corona, katanya.
Tetapi, penarikan utang 2021 ditargetkan Rp1.177 triliun. Untuk corona juga?
Pertumbuhan defisit dan utang negara ini sepertinya sudah di luar terkendali. Bayangkan, utang negara pada akhir 2014 baru Rp2.608,8 triliun.
Kini menggelembung menjadi sekitar Rp6.000 triliun. Naik sekitar Rp3.400 triliun.
Kenaikan utang negara yang di luar kendali ini sangat membebani perbankan (dan perekonomian) nasioanl.
Karena sepertinya sektor perbankan menjadi target untuk membeli surat utang negara, yang bisa berdampak negatif pada kredit (kepada pihak ketiga).
Porsi kepemilikan surat utang negara di tangan perbankan nasional naik tajam, dari Rp204 triliun pada akhir 2014 (setara 5,6 persen dari total kredit) menjadi Rp607 triliun pada akhir 2019 (setara 10,8 persen dari total kredit), dan naik lagi Rp505 triliun menjadi Rp1.112 triliun per akhir Oktober 2020.
Dengan demikian, terjadi kenaikan rata-rata 32,6 persen per tahun (compound) selama 6 tahun: sejak akhir 2014 hingga akhir Oktober 2020.
Sebaliknya, kredit perbankan untuk periode yang sama hanya naik rata-rata 6,9 persen per tahun. Bahkan kredit hingga November 2020 turun Rp167 triliun.
Dana perbankan nasional yang tersedot untuk membeli surat utang negara mengakibatkan pertumbuhan kredit dan investasi swasta melambat. Crowding out. Berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Selanjutnya Bank Indonesia dijadikan kasir. Pemerintah mewajibkan Bank Indonesia untuk menanggung defisit anggaran yang terus menggelembung ini, dengan nama burden sharing.
Bank Indonesia dipaksa melalui PERPPU tersebut di atas untuk membeli surat utang negara baik di pasar primer secara langsung maupun sebagai non-competitive bidder.
Jumlahnya untuk tahun 2020 mencapai Rp650 triliun, dari defisit Rp 956 triliun.
Dan sebagian besar tanpa bunga. Artinya, Bank Indonesia sebenarnya yang menanggung sebagian besar defisit anggaran pemerintah tersebut.
Dan ini akan membebani neraca Bank Indonesia. Akan menyeret Bank Indonesia menjadi tidak sehat.
Meninggalkan bom waktu yang pada saatnya akan meledak. Pemerintah berprestasi, Bank Indonesia gigit jari.
Defisit anggaran yang besar menjadi beban ekonomi. Karena ekonomi Indonesia relatif sangat kecil dibandingkan anggaran defisit dan utang.
Total aset perbankan nasional (umum) per akhir 2019 hanya Rp8.563 triliun.
Kemudian total aset naik Rp499 triliun menjadi Rp9.062 triliun per akhir September 2020.
Kenaikan aset ini dikhawatirkan bubble saja, atau penggelembungan, akibat pembelian surat utang negara Rp505 triliun.
Money Creation
Padahal sebenarnya tidak ada kenaikan yang riil. Money creation, atau ‘cetak uang’ juga.
Artinya, neraca perbankan membesar dan menggelembung bukan dari hasil surplus ekonomi. Tetapi dari penciptaan bubble kredit pembelian surat utang negara.
Komentari tentang post ini