Alumnus Lemhannas PPSA XXI itu juga menegaskan bahwa dalam komunikasi berhikmat setiap komunikator dituntut memiliki pemahaman yang cukup soal sebab-akibat, aksi-reaksi, analisa dan dampak, dan selalu mengajukan pertanyaan utama dengan kata “MENGAPA” sesuatu terjadi demikian dan tidak cukup hanya mengetahui sebuah informasi semata. Kata “local wisdom” sebenarnya mengacu pada nilai-nilai luhur daerah setempat. Artinya, dalam berinteraksi dengan masyarakat seseorang harus berinteraksi dan sekaligus menghormati nilai-nilai luhur yang ada di daerah tersebut.
Putut Prabantoro yang juga Ketua Gerakan Ekayastran Unmada (Semangat Satu Bangsa) mengingatkan pula bahwa komunikasi yang berhikmat selalu mengutamakan kesantunan, unggah-ungguh, budi pekerti karena terkait dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika, yang sebenarnya untuk menegaskan adanya nilai-nilai local wisdom (kearifan lokal) dalam NKRI.
“Agama-agama juga mengajarkan umatnya untuk menggunakan kata hikmat sebagai penjelasan tentang nilai luhur yang harus dihormati dalam interrelasi antar manusia. Oleh karena Pancasila itu way of life atau falsafah hidup bagi bangsa Indonesia termasuk di dalamnya tentu berkomunikasi, sudah seharusnya kita mengembangkan komunikasi yang berhikmat agar Persatuan Indonesia tetap utuh,” tegas Putut Prabantoro.
Komentari tentang post ini