SIMALUNGUN – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian mendesak Kejaksaan Negeri SImalungun, Sumatera Utara, segera mebebaskan hari ini juga, kakek usia 65 tahun, Sorbatua Siallagan, dari tahanan.
Putusan banding Pengadilan Tinggi Medan menetapkan Sorbatua tidak terbukti bersalah secara tindak pidana.
“Saya berharap Pengadilan Negeri SImalungun atau panitra segera menyerahkan surat Putusan Pengadilan Tinggi Medan kepada Kejasakaan Negeri Simalungun. Sehingga bapak Sorbatua Siallagan, segera bebas hari ini juga. Jangan sampai negara menambah beban hukuman kepada warga negara yang tetalah diputus pengadilan tinggi tidak bersalah,” kata Saurlin Siagian kepada wartawan hari ini, Jumat (18/20/2024) sore.
Saurlin mengaku telah berkomunikasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri Simalungun Irfan Hergianto, Jumat sore seekira pukul 15.40 WIB.
Menurut pengakuan Kajari, pihak kejaksaan menunggu salinan putusan Pengadilan Tinggi Medan yang menangani sidang banding Sorbatua.
Saurlin kembali menegaskan, menurut Undang-undang, putusan berlaku sejak diucapkan.
Artinya, putusan majelis hakim Tinggi Medan yang menyatakan Sorbatua Siallagan harus dibebaskan, berlaku saat dibacakan di ruang sidang. Tidak harus menunggu surat putusan.
Dia menduga, surat putusan telah terbit Kamis kemarin. Dan mengingat jarak dari Kota Kedan ke Simalungun cukup dekat, waktu tempuh sekira 3 jam, maka seharusnya surat putusan telah tiba di tangan Panitera di Pengadilan SImalungun.
“Saya berharap, Pengadilan Negeri atau panitera PN Simalungun segera menyerahkan surat putusan PT kepada Kejari Simalungun. Saya pikir, suratnya dikirim kemarin, tidak masuk akal kalau tidak sampai hingga sore ini. Kita tidak ingin keadilan delay, terlambat. Karena putusan PT sudah terbit. Jadi jangan menambah hukuman,” kata Saurlin, eksponen/aktifis mahasiswa 1998 dan alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Bebaskan Juga Warga Sihaporas
Saurlin juga mengapresiasi putusan hajelis hakim Pengadilan TInggi Medan yang diketuai Syamsul Bahri SH MH, dan dua hakim anggota, yaitu Longser Sormin SH MH, dan Tumpal Sagala SH MH.
“Ini adalah bukti bahwa masih ada hakim yang menggunakan akal sehatnya. Tiga hakim PT Medan perlu diapresiasi. Mereka menyatakan bahwa, kasus Sorbatua versu PT TPL itu adalah perdata. Karena perdata, diusutnya secara administarsi, bukan pidana. Jadi putusan perdata, diurusnya secara admisntrasi, bukan mempidana orang. Orang memepersoalkan batas tanah, berati urusan adinistrasi tata batas tanah. Dalam hal ini karena konflik agraria berkaitan dengan hutan, maka bereskan tata batas hutan,” kata Saurlin, sebelumnya aktif sebagai pegiat lingkungan hidup dari Hutan Rakyat Institut (HaRI).
“Saya berharap, kasus yang sama atau mirip, maka harus diperlakukan sama. Ini kasus sama, sudah ada yurisprudensinya, maka perlakuannya sama, di Dolok Parmonangan maupun di Sihaporas. Kita tahu, ada empat orang warga masyarakat adat Sihaporas, yang ditahan sejak 22 Juli 2024. Lokasi berdekatan dengan tanatnya Sorbatua. Jadi ini masalah perdata, yang mestinya diselesaiakan oelh Kementerian Lingkunagn Hidup dan Kehutanan (KHLK), bukan peradilan pidana,” kata Saurlin.
Ia menambahkan, kasus bebasnya Sorbatua Siallagan, warga Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan (Tiga Dolok), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menjadi pembuka kotak pandora, bahwa penyelesaian konflik agraria harus digunakan dengan pendekatan kasus perdata dan administrasi, bukan pidana.
Dalam kasus Sorbatua Siallagan, Saurlin melihatnya mejadi hal penting untuk semua masalah tanah dan sengkata gararia di seluruh Indonesia.
“Saya melihat, kasus di Sihaporas, tidak terlepas dari masalah pokok, tata batas hutan dan konflik agraria. Kalaupun masyarakat dijerat pasal pidana, seperti penganiayaan dan pengeroyokan oleh Polres Simalungun, pokok soal adalah konflik agraria. Kalau dibereskan tata batas hutan, maka tidak ada lagi kasus. Ada 31 kasus batas tata hutan di kawasan Danau Toba. Masalah pokoknya adalah tata batas hutan. Siapa yang bisa menyelesaikan itu? Bukan polisi, melainkan KLHK. Komnas HAM mendorong KLKH menyelesaikan tanah bukan hanya di kawsan Danau Toba, juga di daerah lain,” ujar Saurlin.
Ia menyebut kasus Sorbatua Siallgan, semula dilaporkan pihak PT TPL atas kasus membakar hutan. Lalu polisi menjeratnya tindak pidana.
“Tapi Pak Sorbatua bilang, dia turun-temurun ada di tanahnya. Jadi, kasus Sorbatua awalnya disebut pembakaran, sama dengan kasus Sihaporas, disebut pengeroyokan dan perusakan. Polanya sama, kasus perdata ditarik ke kasus pidana. Padahal masalah pokoknya adalah tata batas hutan. Karena tiu, saya minta kasus masyarakat Sihaporas juga dijadikan kasus perdata, adminsitrasi, bukan pidana,” jelasnya.
Saulir pun meminta pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelesiakan konflik tenurial/hutan dengan pendekatan pencadangan hutan adat.
“Jadi karena masalah hutan adat, maka hentikan dulu, keadaan statusquo (stanvas). Hentikan masalah ini. Baru cari penyelesain konflik agraria. Negera menghentikan dulu masalah akarnya. Sekali lagi, Putusan Pengadialn Tinggi Medan ini menajdi contoh yang baik untuk kasus perdata tanah,masak hakim lain menggunakan paradigma yang beda?,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini