JAKARTA–Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kondisi perbankan nasional hingga saat ini masih cukup kuat di tengah meningkatnya tekanan eksternal terutama akibat percepatan normalisasi kebijakan moneter bank sentral dunia.
“Kondisi perbankan Indonesia kuat didukung tingkat permodalan yang cukup tinggi di level 25,8 persen dan likuiditas yang longgar,” kata Purbaya, Selasa (12/4/2022).
LPS mencatat, hingga Februari 2022, total aset perbankan tumbuh 10,3% secara year-on-year/yoy (tahunan) ditopang oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 11,1% yoy.
Penyaluran Kredit perbankan mampu tumbuh 6,3% yoy, jauh membaik dibandingkan kondisi sepanjang 2020 yang pada saat itu penyaluran kredit terkontraksi sebesar 2,4%.
Pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dari pertumbuhan kredit, membuat likuiditas perbankan masih longgar dengan rasio LDR di level 78,0 %.
Longgarnya likuiditas tersebut, tercermin juga pada tingginya aset likuid bank yang didominasi oleh penempatan pada Surat Berharga Negara (SBN) dan pada Bank Indonesia.
Dari sisi kualitas aset, Gross NPL terjaga di level 3,1%.
Namun demikian, kata Purbaya, kualitas aset tersebut masih dibayangi potensi peningkatan risiko kredit dari kredit yang restrukturisasi dan kredit kolektibilitas 2.
“Saat ini, rasio Loan at Risk sebesar 19,8 persen dan rasio kredit restrukturisasi sebesar 16,4 persen. Apabila dibandingkan dengan 2020, rasio risiko kredit tersebut menunjukan tren perbaikan,” kata Purbaya.
Sebagai bentuk mitigasi risiko kredit tersebut, perbankan terus memupuk Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) secara bertahap yang telah mencapai Rp353,7 triliun per Februari 2022.
Sehingga, rasio coverage CKPN terhadap NPL sudah relatif tinggi mencapai 199,4%.
Seiring dengan penurunan tingkat bunga penjaminan LPS, suku bunga di pasar, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga kredit juga mengalami tren penurunan.
Tren penurunan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) LPS juga sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan bank sentral.
Purbaya menjelaskan, inflasi di beberapa negara terus melanjutkan kenaikan yang disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor dari sisi demand, supply, dan distribusi.
Belum meredanya konflik Rusia-Ukraina juga menyebabkan harga-harga energi dan bahan pangan mengalami peningkatan sehingga berdampak pada kenaikan inflasi.
Hal ini turut mendorong Bank Sentral di berbagai negara untuk menaikkan suku bunga acuannya, sebagai upaya untuk menahan kenaikan inflasi sehingga tingkat harga diharapkan dapat lebih terkendali.
Sebelumnya, bank sentral AS, Federal Reserve, pada Maret 2022 telah menaikkan Fed rate sebesar 25 bps.
Selain itu, Bank of England (BoE) juga telah menaikkan suku bunga acuannya secara agresif sebanyak tiga kali sejak pertengahan Desember tahun lalu.
Komentari tentang post ini