Oleh: Anthony Budiawan
Seperti sudah diduga, konstitusi 2002 sangat rentan, sangat mudah dipermainkan, dimanipulasi dan dikhianati.
Hanya sembilan orang, hanya sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, mampu merusak (konstitusi) Indonesia.
Bukan, bukan sembilan. Malah hanya satu hakim konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi, mampu mengacak-acak Indonesia.
Puncaknya, Mahkamah Konstitusi mempermainkan persyaratan batas usia minimum pencalonan wakil presiden.
Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, adik ipar presiden Jokowi, memberi jalan kepada keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, untuk bisa dicalonkan sebagai wakil presiden 2024.
Semua pihak tersentak. Terkejut. Begitu mudahnya konstitusi 2002 dirusak.
Sebelumnya, banyak pihak sudah menyuarakan, konstitusi 2002 lebih banyak mudaratnya.
Khususnya sejak 2014, sejak Jokowi menjabat presiden.
Terlihat jelas, Jokowi memanfaatkan konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi, untuk kepentingan kelompoknya, untuk memperkaya kroni-kroninya dengan cara membuat UU yang terindikasi jelas melanggar konstitusi.
Antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.
Seiring dengan rusaknya konstitusi 2002, seruan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Asli menggema kembali. Lebih keras.
Kembali ke UUD 1945 Asli memang merupakan sebuah keharusan.
Bukan hanya terkait masalah pemilihan presiden, apakah dipilih rakyat atau MPR. Tetapi jauh lebih fundamental dari itu.
UUD 1945 Asli merupakan dokumen kesepakatan antar masyarakat dari berbagai daerah Indonesia, untuk membentuk negara Indonesia pada tahun 1945.
Komentari tentang post ini