Tanggung jawab besar terletak pada BUMN penyalur, Pertamina, dan Pemerintah Daerah.
Mereka seharusnya sudah memiliki strategi mitigasi darurat, seperti pembangunan Depo Cadangan atau buffer stock yang memadai, mengingat wilayah NTT memang rawan gangguan infrastruktur.
Ketiadaan stok penyangga ini adalah bukti kelalaian perencanaan yang fatal.
Kekosongan pasokan ini dengan cepat diisi oleh para spekulan dan penimbun yang memanfaatkan kesulitan rakyat untuk meraup untung lima kali lipat.
Di sinilah negara terasa absen. Kehadiran dan ketegasan aparat penegak hukum serta BPH Migas nyaris tidak terasa di awal krisis, membiarkan kartel lokal beroperasi leluasa.
Gelombang kekecewaan yang tumpah di media sosial adalah indikator jelas bahwa kesabaran masyarakat Manggarai telah habis. Mereka menggunakan ruang digital untuk menagih janji dan menuntut akuntabilitas, karena saluran resmi dinilai lamban dan tidak efektif.
Krisis ini harus diakhiri dengan solusi struktural, bukan sekadar penambahan pasokan sementara. Pemerintah wajib mengaudit jalur distribusi, membangun Depo Cadangan yang mampu menjamin stok darurat minimal dua minggu, dan, yang terpenting, menindak tegas para penimbun yang telah menyengsarakan rakyat.














