JAKARTA-Pemerintah Indonesia memenangkan perkara gugatan “Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd. (“Para Penggugat”) di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington D.C. Amerika Serikat atas kasus 4 perusahaan pertambangan batu bara Grup Ridlatama di Kecamatan Busang Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010 silam.
Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), kasus ini bermula saat Para Penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur yang dianggap melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia. Pelanggaran dimaksud adalah ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) yakni suatu bentuk nasionalisasi yang disertai dengan pembayaran ganti rugi atau kompensasi.
Selain itu, tuduhan lainnya adalah terkait prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010.
Dari tuduhan ekspropriasi tidak langsung dan pencabutan izin tersebut, Para Penggugat mengklaim telah mengalami kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar USD1.3 Milyar (lebih kurang Rp18 triliun).
Namun demikian, Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya pemalsuan yang kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen. Terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah.
Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa “investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional”.
Tribunal ICSID juga menemukan bahwa “Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence)” sehingga Tribunal ICSID menyatakan klaim dari Para Penggugat ditolak.
Pada tanggal 6 Desember 2016, Tribunal ICSD menolak semua klaim yang diajukan oleh Para Penggugat terhadap Indonesia sekaligus mengabulkan klaim Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD9,4 Juta.
Akhirnya, melalui perjuangan panjang, pada tanggal 18 Maret 2019 Komite ICSID menegaskan kemenangan Indonesia melalui sebuah putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap (Decision on Annulment). Kemenangan ini adalah prestasi luar biasa bagi Pemerintah Indonesia yang dicapai melalui koordinasi, dukungan, dan kerjasama dari instansi-instansi terkait.
“Kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Para Penggugat,” kata Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, saat Press Conference, di Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan Senin, (25/03/2019)
Komentari tentang post ini