Oleh: MH Said Abdullah
Semua agama mengajarkan kedamaian. Sebab damai merupakan kebutuhan dasariah. Maka siapapun orangnya, apapun agama, suku dan rasnya, damai merupakan hal yang niscaya di sana.
Tetapi mengapa ketidakdamaian terjadi, di sinilah persoalannya. Terjadinya bom di hari terakhir umat Islam menjalankan ibadah puasa di Mapolresta Surakarta (5/7) lalu, merupakan salah satu bentuk ketidakdamaian yang lahir dari cara pandang oknum tertentu.
Meski pelaku bom bunuh diri serupa teroris itu ditengarai melafalkan kalimat syahadat sesaat sebelum meledakkan bom, tidak serta merta ia merasa damai di sisi Tuhan.
Ia patut diduga keliru memandang Tuhan sebagaimana ia juga pantas ditengara salah mempersepsikan selain Tuhan, termasuk dirinya dan substansi perjuangan puasa itu sendiri.
Puasa sejatinya tidak hanya menahan diri dari lapar dan haus, tetapi puasa juga mencegah diri dalam berprilaku destruktif kepada diri dan siapapun. Oleh karena itu, pengebom di manapun sesungguhnya merupakan representasi dari ketidaksanggupan diri dalam konteks mencegah dan menahan dari tindakan yang merugikan bahkan mencelakakan orang lain, apapun alasannya.
Tetapi, manusia memiliki pikiran yang berbeda dengan bingkai spektrum yang tentu saja tidak sama di masing-masing garis tepinya.
Pada saat umat Islam hendak merayakan hari kemenangan (lebaran), di situlah terjadi katarsis-terorisme, dimana seluruh raga berdoa supaya diberi ampunan dan jeda untuk kembali berpuasa di masa-masa yang akan datang. Namun sebuah sudut inversif terjadi ketika seseorang membunuh dirinya sendiri dan bermaksud mencederai orang lain.
Komentari tentang post ini