Sementara itu, Lina SE mengungkapkan, maju mundurnya pendidikan formal tidak ditentukan oleh kurikulum ataupun banyaknya mata kuliah. Sekalipun dirasa klise, harus diakui dan dipahami bahwa kemajuan pendidikan ditentukan oleh rasa cinta, yakni cinta kepada anak didik, cinta kepada bangsa dan negara serta cinta kepada profesi. Tanpa konteks ini, para pendidik hanyalah “pekerja” yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan pada pola yang telah ditetapkan.
Siap kerja, urai Lina SE lebih lanjut, adalah kata yang mewakili bagaimana seharusnya sebuah perguruan tinggi mengantarkan para mahasiswanya ke gerbang kematangan mental kerja dan ilmu sebelum bekerja.
Tidak sedikit perguruan tinggi yang berorientasi pada jumlah lulusan per tahunnya, dosen yang harus memenuhi standardisasi dengan mengumpulkan berbagai sertifikasi dan sementara lulusannya berorientasi pada nilai indeks prestasi (NIP) yang tinggi misalnya di atas tiga (3,0).
“Mindset seperti ini kemudian membuat gap antara dunia kerja dan dunia pendidikan. Yang dijumpai adalah sarjana dengan IP yang tinggi tetapi tidak siap kerja. Atau juga, ilmu yang ditekuni sangat berbeda jauh dengan bidang yang dimasuki. Visi ke depan pendidikan Indonesia ke depan harus dilandasi sikap cinta dari civitas academica. Saya belum tahu, apakah kita sudah pernah mensurvei, perguruan tinggi mana saja yang menghasilkan sarjana yang menganggur ? Dan, atau motivasi seorang fresh graduate yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2, adakah kaitannya dengan link and match?” ujar Lina SE.
Adalah penting, masih menurut Alumnus Lemhannas PPSA itu, Indonesia perlu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia dengan melihat pola pendidikan di perguruan tinggi.
Komentari tentang post ini