“Misalnya dulu almarhum AM Fatwa termasuk mubalig yang masuk daftar negatif oleh pemeritah,” tambahya.
Pembicara lain, Adi Prasetyo, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Islam Syarief Hidayatullah juga sepakat publikasi mubalig lebih baik dianulir dan tidak dilanjutkan.
Menurutnya, rilis nama mubalig malah kontraproduktif. “Setelah 200 mubalig nanti berapa lagi. Nanti malah daftar mubalig bukan lagi karena berdasarkan kompetensinya melainkan karena afirmasi. Karena setiap daerah menuntut mubalignya masuk ke dalam daftar,” ujarnya.
Sebutan mubalig, ustad dan ulama di Indonesia tumbuh secara alami. Tidak ada campur tangan negara. “Beda dengan di Malaysia yang mubalig diatur oleh negara. Budayanya memang beda,” kata Adi.
“Saya lebih setuju Menag mengeluarkan kriteria mubalig bukan mempublikasikan nama-nama mubalig,” pungkasnya. ***
Komentari tentang post ini