Becker mengajukan tesis yang provokatif, yaitu penjahat pada dasarnya adalah aktor rasional.
Seseorang memutuskan untuk melanggar hukum bukan semata karena dorongan jahat, melainkan karena kalkulasi untung-rugi.
Dalam konteks pemilu, politik uang terjadi ketika expected benefit atau manfaat yang diharapkan dari kemenangan, jauh lebih besar daripada expected cost atau biaya yang harus ditanggung.
Logika ini menjelaskan mengapa calon legislatif atau kepala daerah berani menggelontorkan uang miliaran rupiah.
Bawaslu sering kali terbentur pada sulitnya hukum pembuktian.
Politik uang dilakukan dengan modus operandi yang canggih—sistem sel, memakai perantara, hingga model dompet digital—sehingga kemungkinan tertangkap tangan kecil.
Sementara itu, sanksinya juga kerap tidak menimbulkan efek jera. Sanksi administrasi atau denda yang kecil tidak sebanding dengan potensi keuntungan yang didapat.
Jika seorang kandidat menghitung peluangnya tertangkap tangan hanya 10% dan sanksinya hanya pidana percobaan dan/atau denda, sementara potensi keuntungan politiknya adalah akses terhadap anggaran triliunan, maka secara matematis, melakukan politik uang adalah langkah rasional.
Selanjutnya, mengapa kursi jabatan begitu berharga hingga kandidat rela menggelontorkan uang.















