JAKARTA – Perwakilan komunitas Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan Pengujian Formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE 32/2024) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Permohonan ini didaftarkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane atas dukungan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.
Pengujian formil ini dilakukan karena ada persoalan dalam konteks penyusunan UU 32/2024 yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU 13/2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020.
Para pemohon dan koalisi untuk konservasi mengajukan Uji Formil UU 32/2024 dilakukan dengan 3 (tiga) alasan yakni : (1) Tidak Memenuhi Asas Kejelasan Tujuan, (2) Tidak Memenuhi Asas Kedayagunaan Dan Kehasilgunaan, (3) Tidak Memenuhi Asas Keterbukaan.
Menurut Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Satrio Manggala, menilai UU 32/2024 secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.
Asas keterbukaan berkaitan erat dengan proses partisipasi yang bermakna.
Tanpa keterbukaan maka tidak partisipasi yang bermakna.
Terakhir WALHI menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada tanggal 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI.
“Hingga hari ini kami tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan kami tidak diakomodir dan tidak direspon.” Ujar Satrio Manggala.
Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi, UU KSDAHE No. 32/2024 yang baru ini merupakan salah satu UU yang secara formil dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat sebagai kelompok masyarakat yang terdampak langsung dari UU tersebut.
“Selain itu secara substansi UU ini menegasikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi, bahkan berpotensi kuat merampas wilayah adat dan kriminalisasi Masyarakat Adat melalui perluasan preservasi,” ujar Rukka Sombolinggi.
Pada konsideran UU 32/2024 tidak mempertimbangkan subjek hukum yaitu Masyarakat Adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi jauh sebelum UU 32/2024 ada, bahkan jauh sebelum negara NKRI terbentuk.
Padahal apabila dilihat cara dan pola hidup Masyarakat Adat yang hidup di wilayah tersebut, Masyarakat Adat tersebut mengelola dan memanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang, bahkan tidak hanya mengelola dan memanfaatkan namun juga menjaga kelestariannya.
Artinya, Pembentuk UU dalam menyusun UU 32/2024 tidak melibatkan Pihak yang terdampak, serta Pihak yang concern (mempunyai perhatian dan peduli) terhadap urusan Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan ekosistemnya, menyebabkan UU 32/2024 menjadi tidak mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai, seperti pemahaman ekosistem yang tidak menyentuh pada tingkat subjek hukum yang berkaitan erat dengan ekosistem Sumber Daya Alam Hayati Indonesia yaitu Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi yang ditetapkan oleh Negara.
Senada dengan hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Sekjen KIARA) Susan Herawati menyebutkan bahwa dengan tidak adanya partisipasi yang bermakna dari masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil berpengaruh terhadap tidak diakomodirnya pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengelola dan melakukan konservasi berbasis masyarakat secara mandiri.
“UU KSDAHE ini juga secara jelas bertentangan dengan Hak Konstitusional Nelayan dan Masyarakat Pesisir sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010, beberapa diantaranya adalah:
1) hak untuk mengakses laut;
2) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat;
“Dan 3 hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan,” jelas Susan Herawati.
Pembentukan UU 32/2024 Tidak Memenuhi Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan terutama bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sebagai Subjek Hukum dalam Pemberlakuan UU 32/2024.
Hal tersebut ditandai dengan beberapa permasalahan substantif yang dapat dipastikan akan muncul dan dialami Masyarakat Adat atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan disekitar kawasan konservasi.
Misalnya lebih banyak celah terjadinya potensi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Dalam UU 32/2024 tidak adanya pasal yang mengatur mengenai Padiatapa (Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) atau yang dikenal dengan FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dalam Penetapan KSA, KPA, Areal Preservasi dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut.
Padahal FPIC adalah hal yang sangat penting dan dan fundamental dari hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan.
Akibat dari hal ini adalah berpotensi memperluas perampasan tanah dan re-settlement Masyarakat Adat dari wilayah kelola/adat yang ditetapkan.
Pembentukan UU 32/2024 mengabaikan kewajiban negara bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pembentukan UU 32/2024 Tidak Memenuhi Asas Keterbukaan
Sebagai pihak yang perhatian dan peduli mengawal Proses Pembentukan UU 32/2024, tidak dapat mengakses dokumen hasil rapat atau atau proses pembahasan UU 32/2024, dokumen yang tidak ditemukan melalui website DPR.
Sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR dan Pemerintah seharusnya melibatkan Masyarakat Adat dan lokal, serta organisasi masyarakat sipil sebagaimana amanat UU No. 12 Tahun 2011 untuk duduk bersama melakukan musyawarah untuk merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam UU 32/2024 yang tidak mendiskriminasi Masyarakat Adat agar benar-benar undang-undang ini kelak dapat berguna untuk meningkatkan efektivitas kegiatan konservasi sekaligus dapat menggapai keadilan sosial dan ekologis yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Penolakan yang dilakukan oleh Koalisi dengan mengirimkan surat kepada Presiden, Ketua DPR dan Ketua DPD terkait penolakan pengesahan UU KSDAHE karena disusun tidak terbuka, tidak mendapatkan respon sama sekali.
Hal ini menunjukan dan memperjelas bagaimana pembentuk UU menempatkan Masyarakat Adat dan lokal sebagai sebuah ancaman konservasi.
Pembentuk undang-undang seharusnya tidak memandang Masyarakat Adat dan lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi, melainkan sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah. Pasal terkait yang juga tidak mempertimbangkan usulan publik yakni pasal terkait peran serta masyarakat di dalam UU 32/2024.
Atas dasar hal tersebut, para pemohon dan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk membatalkan UU 32/2024 yang disusun tidak dengan kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan tertutup. A
tau setidak-tidaknya, MK harus memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) terhadap UU KSDAHE dan melibatkan Masyarakat Adat, Komunitas Lokal dan Pihak-Pihak yang memiliki fokus isu pada konservasi.
Komentari tentang post ini