Kenyataan ini sesungguhnya telah menjerumuskan diri Presiden Jokowi sendiri pada penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya sebagai Presiden yang merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.
Jika tidak demikian, tentunya atmosfir perpolitikan di Indonesia di beberapa bulan belakangan ini, tidak akan dipenuhi berbagai protes dan aksi dari para akademisi, politisi dan budayawan.
Presiden Jokowi telah mencampur adukkan kewenangannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karenanya Presiden Jokowi bisa dianggap telah melanggar UU, sebagaimana yang dimaksud dalam UU NO.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya yang tertera di Pasal 17 ayat (2) huruf (a,b dan c).
Tindakan Presiden Jokowi yang demikian, jika tak cukup dianggap telah melakukan pelanggaran etis dan norma sosial, karena Presiden harusnya adil, netral dan mengayomi semua pihak, juga bisa dianggap melakukan pelanggaran UU NO.7/2017.
Presiden dan Wakil Presiden memang diperbolehkan untuk berkampanye dalam Pilpres maupun Pileg, akan tetapi dalam Pasal 299 ayat (1) UU NO.7/2017 Tentang PEMILU itu sudah tegas dinyatakan, bahwa Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terkait hubungan keluarga sedarah/semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan Calon Dlsb.
Komentari tentang post ini