Oleh: FX Arief Poyuono
Setelah kasus Jiwasraya masuk pengadilan, publik memberikan selamat yang meriah pada penegak hukum. Khususnya Kejaksaan Agung. Jiwasraya yang pada awalnya merupakan kasus pasar modal, menjadi kasus gorengan politik karena dikaitkan dengan Pemerintahan Jokowi.
Kasus Jiwasraya dianggap pertaruhan nama Jokowi. Dengan masuk persidangan, maka tuduhan yang selama ini dilancarkan oleh pihak lawan-lawan Jokowi terbantahkan.
Misalnya ada tuduhan duit Jiwasraya mengucur ke kampanye Jokowi, kini hanya jadi fitnah semata.
Apresiasi yang sebesar-besarnya pada Kejaksaan Agung, khususnya dari para pendukung Jokowi. Namun sebenarnya ada persoalan penting dari kasus Jiwasraya yang merupakan masalah hukum, bukan masalah politik.
Seolah-olah dengan mengadili yang terlibat kasus Jiwasraya untuk ‘membersihkan’ Pemerintahan Jokowi, padahal bukan itu intinya.
Sejak awal, kasus Jiwasraya dikaitkan dengan Jokowi adalah fitnah belaka. Selanjutnya yang perlu dibongkar adalah dosa lama Jiwasraya yang kini ditimpakan pada Pemerintahan Jokowi.
Kesimpulannya Pemerintahan Jokowi hanya bernasib sial, karena Jiwasraya sudah busuk dari lama. Pemerintan Jokowi seperti tukang cuci piring kotor belaka. Yang menikmati makanannya adalah rezim dan komplotan yang lama.
Pada tahun 2008, saat pergantian direksi, posisi Jiwasraya sudah minus 5,7 Trilliun rupiah. Artinya Jiwasraya sudah rugi sebelum tahun 2008, sebelum direksi baru waktu itu diangkat.
Namun anehnya mengapa Kejaksaan melokalisir kasus Jiwasraya hanya di periode 2008-2018? Mengapa sebelum tahun 2008 tidak diusut?
Sebagai institusi hukum yang profesional, harusnya Kejaksaan mengusut tuntas mulai timbulnya kerugian Jiwasraya, karena faktanya kerugian yang diwariskan sebelum 2008 itulah yang menjadi penyebab modus gali lobang, tutup lobang oleh direksi 2008-2018.
Cuci Piring
Bukankah direksi 2008-2018 bagian cuci piring kotor? Yang kemudian juga ditimpakan pada Pemerintahan Jokowi, mengapa kerugian sebelum 2008 tidak diusut?
Komentari tentang post ini