Sebagai contoh, kalau ada masyarakat yang mengatakan “pemerintah gagal memberi kesejahteraan kepada masyarakat”, apakah ini delegitimasi dan mau menjatuhkan pemerintah, sehingga harus “ditawur”?
Benny Rhamdani juga mengatakan, kritik selalu dilakukan dengan pola yang sama: penyebaran kebencian, fitnah, adu domba antar suku dan agama, dan berita hoax, bahkan penghinaan dan pencemaran terhadap simbol-simbol negara, presiden, ibu negara. Sehingga menurutnya wajib “ditawur”?
Untuk hal ini, Benny Rhamdani juga harus klarifikasi apa yang dimaksud dengan penyebaran kebencian, fitnah, adu domba, berita hoax, dan lainnya itu. Dan wajib menunjukkan contoh kasus yang sudah terjadi.
Karena, jangan sampai yang dituduhkannya kepada kelompok masyarakat kritis ini hanya fitnah saja.
Sekali lagi, inti dari pernyataan Benny Rhamdani adalah, kalau pemerintah tidak bisa menegakkan hukum kepada kelompok masyarakat kritis, maka Benny Rhamdani bersama kelompoknya siap melakukan perlawanan (secara fisik?).
Kalau dicerna lebih dalam lagi, ungkapan Benny Rhamdani kepada Jokowi dapat juga dimaknai sebagai “ancaman” kepada Jokowi: kalau Anda tidak proses hukum kepada para “pengritik”, maka kami akan melawan (secara fisik?).
Selain bahaya, pernyataan Benny Rhamdani tersebut dapat menjadi bumerang. Kalau pemerintah tiba-tiba menangkapi masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis, maka masyarakat mengerti siapa dalang di belakang itu semua.
Di sisi lain, pernyataan Benny Rhamdani mungkin sudah memenuhi pelanggaran Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatakan:
Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi tingginya tiga tahun.
Karena, pernyataan Benny Rhamdani “kami melawan” sudah bisa menerbitkan keonaran, dan yang disampaikannya merupakan berita bohong bahwa masyarakat kritis mau menjatuhkan pemerintah.
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta
Komentari tentang post ini