Di mata politisi, setiap kali bibir mereka bergerak, bohong dan tipu daya adalah sah. Dalam konteks itu mereka tidak patut disalahkan, apalagi dianggap tidak bermoral.
Yang salah adalah kita warga masyarakat biasa yang percaya pada kebohongan dan tipu daya mereka, yang mempercayai begitu saja pernyataan mereka seolah-olah benar.
Oleh karena itu setiap pernyataan politisi di ruang publik tidak bisa dibaca lurus-lurus. Bahkan harus dibaca sebaliknya. Kalau ia mengatakan ya, bisa jadi maksudnya adalah tidak. Demikian pula sebaliknya.
Jika pimpinan tertinggi di suatu negara atau daerah ditanya, apakah Anda mempunyai kehendak untuk melakukan praktek nepostime dalam rangka membangun dinasti politik?
Pasti tidak mungkin dia akan langsung memberi konfirmasi kehendaknya untuk melakukan praktek politik busuk yang nepotis itu.
Bisa saja kehendaknya itu ia sembunyikan dengan mengatakan hal-hal sebaliknya. Misalnya, mana mungkin saya majukan anak saya untuk jadi gubernur atau bupati atau walikota.
Bisa ia beralasan, anakku masih belum cukup umur, belum akil balik, atau belum dewasa. Ibarat bayi merah, tidak mungkin langsung disuruh jadi pemimpin.
Komentari tentang post ini