Kondok dimasukkan ke dalam panci dan dibiarkan berenang kesana-kemari dengan gembira. Sebab si kodok merasa masih sama seperti habitatnya sendiri.
Ternyata secara diam-diam, api di bawah panci dinyalakan tanpa diketahui si kodok. Perlahan tetapi pasti, air mulai hangat, panas dan mendidih sampai 100 derajat celsius.
Tidak ada peluang lagi bagi kodok itu untuk melompat keluar dari panci. Kodok itu pun mati dalam kekejaman si politisi pemilik panci.
Demikian juga dalam praktek politik kontemporer. Politisi sekoalisi di pemerintahan, atau bahkan teman separtai pun bisa jadi lawan, yang harus disingkirkan atau dimatikan karier politiknya.
Tidak jarang pula, lawan politik disandera. Lalu si politisi diberi pilihan yang sangat dilematis. Mengikuti seluruh kehendak si pemegang kekuasaan, atau menghadapi proses hukum yang pasti tidak adil, untuk kemudian dijebloskan ke penjara.
Di mata politisi yang pantang menyerah, berlaku adagium: Tidak ada kawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan. Mereka rela mengorbankan apa saja, asal kehendak atau kepentingan mereka terwujud.
Komentari tentang post ini