Oleh: Miqdad Husein
Antisipasi mencegah dan menolak penggunaan agama dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mulai dilakukan. Adalah organisasi keagamaan di negeri ini, yang memulai mengingatkan agar agama tidak dipolitisasi atau yang populer disebut penggunaan politik identitas.
Penegasan menggembirakan ini disampaikan dalam acara Kolokium Agama-agama Nusantara (KAANA) 2022, Rabu (10/8/2022) di Jakarta, yang diselenggarakan Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama MUI Pusat.
Kolokium (seminar) digelar sebagai ikhtiar mencegah terjadi politik identitas, politisasi agama, dan komodifikasi agama dalam Pemilu 2024 mendatang.
Kegiatan strategis itu diikuti oleh MUI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi).
Kemudian Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Pagar (PHDI) dan pengurus Ormas-ormas keagamaan di Indonesia lainnya serta perwakilan dari Kementerian Agama.
“Kami menolak dan menentang keras penggunaan politik identitas, politisasi agama, dan komodifikasi agama dalam politik praktis, terutama dalam pemenangan Pemilu tahun 2024, yang dilakukan oleh siapapun dan atas nama apapun. Kami menyeru untuk menggunakan upaya-upaya pemenangan Pemilu yang bermartabat, beretika mulia, mendamaikan, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,” tegas pada salah satu point pernyataan Kolokium (Seminar).
Penyelenggara Kolokium Komisi Kerukunan Antar Ummat Beragama (KAUB) MUI Pusat, yang merupakan pengawal kerukunan ummat beragama di negeri ini merasa perlu mengantisipasi dan mencegah salah satu penyebab momen Pemilu bergolak penuh ketegangan.
Bagaimanapun disadari sepenuhnya agama merupakan wilayah sensitif.
Penggunaan agama dalam wilayah politik secara tidak proporsional bukan hanya dapat meretakkan hubungan antar ummat beragama.
Pada titik lebih jauh, penyalahgunaan agama dalam wilayah politik berpotensi mengerikan karena dapat menimbulkan konflik sosial, konflik horizontal, perang saudara yang dapat menghancurkan kedamaian negeri ini.
Politisi agama atau politik identitas sangat mudah menimbulkan keterbelahan bukan hanya antar ummat beragama.
Bahkan, antar ummat sesama agamapun mudah terseret konflik hanya karena perbedaan pilihan.
Dua event politik, yang berlangsung di Indonesia, menjadi bukti kongkrit betapa berbahaya politisasi agama.
Pilkada Jakarta 2017, tercatat sebagai Pilkada paling brutal, menimbulkan keterbelahan masyarakat karena politisasi agama.
Antar umat Islampun sempat terbelah, terperangkat konflik yang sampai dibawa ke wilayah ubudiyah.
Masyarakat Indonesia tentu ingat kasus penolakan mensholatkan jenazah, karena hanya perbedaan pilihan politik.
Sebuah noda hitam, dunia politik negeri ini.
Imbas Pilkada Jakarta, ternyata terus merembes pada pelaksanaan Pilpres 2019.
Keterbelahan ummat Islam sangat terasa hanya karena perbedaan pilihan politik.
Semua terjadi karena ada partai, yang secara sengaja menggunakan agama untuk memuaskan syahwat politik melalui label-label agama yang ditempelkan pada kandidat yang didukungnya.
Akibatnya, beredar secara diam-diam pemikiran bahwa perbedaan pilihan dianggap mewakili cara pandang perbedaan beragama, yang tidak hanya sekedar khilafiyah namun sampai masuk ke wilayah bernuansa takfiri.
Bukan cerita kosong, beredar pemikiran bahwa memilih salah satu pasangan Capres/Cawapres merupakan jalan menuju ke surga sementara memilih pasangan lainnya akan menjerumuskan ke neraka.
Semua terjadi karena pelabelan oleh sebuah partai pada satu satu Capres/Cawapres sebagai Islami dan pemimpin Islam dan yang lainnya adalah sebaliknya, yang berakibat kadang tudingan berkonotasi kafir, komunis dan ujaran-ujuran kebencian mengarah perpecahan lainnya.
Sangat ironis, keterbelahan akibat perbedaan pilihan, yang dirusak penggunaan politik identitas justru terjadi di kalangan antar ummat seagama, khususnya kalangan ummat Islam sendiri.
Umat Islam Indonesia terbelah dalam stigma memilih pemimpin dijamin surga dan neraka. Naudzubillah.
Akibat politik identitas itu pada tingkat serius telah merusak pemikiran sehingga yang benar dianggap salah dan salah dianggap benar.
Menyebarkan hoax, fitnah, ujaran kebenciaan mendapat pembenaran jika disampaikan kepada Capres/Cawapres, yang tidak didukungnya.
Akibat paling fatal, pada Pilpres 2019 banyak umat Islam terjerumus melakukan fitnah, menyebar hoax, ujaran kebencian massal, yang sampai sekarangpun masih terasa terutama di media sosial.
Di sinilah, sungguh sangat penting pesan strategis dari kolokium, yang diselenggarakan KAUB MUI Pusat.
Tentu, pesan yang disampaikan oleh seluruh Ormas Keagamaan dan Kementrian Agama itu, diharapkan menjadi sikap seluruh masyarakat penganut agama di negeri ini.
Pada tataran aplikatif, kesadaran dan kesungguhan para kontesten Pemilu, mutlak diperlukan untuk menghindari politisasi atau penyalahgunaan agama.
Karena merekalah sesungguhnya yang menentukan melalui berbagai kebijakan apakah akan menggunakan politisasi agama atau tidak untuk meraih kekuaasaan, dengan menjadikan ummat sebagai ‘jembatan’ atau obyek politik.
KPU dan Bawaslu sudah seharusnya berani bertindak tegas untuk mendiskualifikasi partai politik atau Capres/Cawapres yang terbukti menggunakan politik identitas berpotensi mengadu domba masyarakat.
Sebuah tugas, yang kini telah mendapat dukungan dari seluruh Ormas Keagamaan negeri ini dan Kementeriaan Agama.
Energi besar, untuk mencegah konflik pada Pemilu 2024 telah mulai disebar dan segera perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat negeri ini demi merawat kedamaian negeri ini.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Gerbang Informasi (GI) di Jakarta
Komentari tentang post ini