Oleh: Benny Sabdo
Pagi itu, mendung menggelayuti langit biru Jakarta. Sinar mentari pun masih enggan merekah.
Dering telepon memecah konsentrasi, saat saya melakukan pengawasan rekapitulasi suara Pilkada DKI Jakarta.
Segera setelah itu, masuk pesan WhatsApp dari senior Dr Yus Santos di Surabaya.
“Selamat pagi Mas Benny Sabdo, kami mendapat rekomendasi dari Monsinyur Didik.
Para sahabat MoDik akan membuat buku bunga rampai. Kami mohon dapat memberikan kontribusi tulisan…” Tanpa berpikir panjang, saya langsung menjawab, “Siap Mas Yus.”
Tatkala Bapa Suci Paus Fransiskus telah mengangkat MoDik sebagai gembala baru di Keuskupan Surabaya, saya merasa bangga. Uskup kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 56 tahun silam ini sangat mengesankan bagi saya.
Pikirannya jernih, sosok yang sederhana, sabar, egaliter, serta memiliki keberpihakan kepada kaum marginal. MoDik adalah sapaan akrab saya kepada Bapa Uskup Agustinus Tri Budi Utomo, sebelum didaulat Sri Paus Fransiskus sebagai Uskup Surabaya.
Saya mengenalnya sejak seminaris kelas dua di Seminari Garum, Blitar, Jawa Timur. Kala itu MoDik memberikan retret kepada para seminaris. Ia bersama seniman jalanan membimbing kami, memasuki alam pikir seni dan kritik sosial.