JAKARTA-Praktek bernegara dengan cara mengabaikan Etika bernegara jelas menyimpang dari Pembukaan UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/ 1998 dan TAP MPR No. VI/MPR/ 2001, yang secara tegas melarang relasi keluarga dalam Penyelenggaraan Negara (Nepotisme) melalui UU No. 28 Tahun 1999.
Mengapa, karena Nepotisme pada gilirannya akan merusak sendi-sendi Etika bernegara (kejujuran, rasa malu, keteladanan, toleransi, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa), berangsur angsur hilang dan akan muncul disintegrasi bangsa.
Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan untuk menghentikan Nepotisme Jokowi dengan daya rusak yang tinggi, hanya bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara:
Pertama, Anwar Usman mundur total atau dipecat dari Hakim Konstitusi, sedangkan GRR segera mundur atau ditarik dari posisi Bacawapres dan diganti oleh Pimpinan Parpol dalam KIM.
Jika cara pertama gagal dilakukan, maka pilihan cara kedua, sebagai langkah konstitusional “Memproses hukum Presiden Jokowi melalui impeachment atas dugaan telah melanggar UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya”.
Secara kasat mata terdapat fakta yang notoire feiten, betapa Etika bernegara (budi pekerti, kejujuran, integritas, rasa malu, toleransi) mengalami penghancuran secara sistemik, selama 10 tahun Presiden Jokowi berkuasa.
Lembaga Kepresidenan, MK dan KPU, terkena imbas dari proses kehancuran akibat penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan relasi keluarga dalam Tata Kelola Pemerintahan dan Penyelenggaraan Negara, tanpa rasa malu dan bersalah, karena itu harus diakhiri sekarang juga.
Penggunaan Hak Angket DPR bisa berkembang hingga Presiden Jokowi diimpeachment di MK.
Ini tentu memerlukan dukungan publik guna mendapatkan legitimasi.
“Karena itu dalam melaksankan fungsi representasi rakyat, DPR memiliki alasan konstitusional mengimpeach Presiden Jokowi, tetapi dengan tetap menjaga integrasi nasional,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini