Yang terjadi saat ini, ada 63 trader gas yang sebagian besar dari trader gas itu hanya bisa mendapatkan alokasi gas, namun tidak melakukan investasi untuk membangun infrastruktur. Mereka memaksakan “open access” dengan harapan bisa menggunakan fasilitas infrastruktur (pipa) milik Perusahaan Gas Negara (PGN).
Kalau “open access” dipaksakan tentunya akan merugikan PGN. Selama ini negara mendapatkan pajak dan deviden dari PGN. “Apalagi, open access juga tidak menjamin harga gas menjadi lebih murah,” kata Marzuki.
Marzuki juga menduga kebijakan itu disokong oleh Pertamina karena BUMN minyak ini justru mengalokasikan produksi gasnya kepada para trader gas itu. Selain mengganggu ketahanan energi nasional, penerapan open access juga akan menurunkan kinerja PGN dan memiliki dampak ikutan. Yaitu shareholder value pemerintah di PGN akan turun dan berdampak terhadap persepsi investasi di Indonesia, terutama terhadap perusahaan BUMN. “Akan ada persepsi negatif bahwa di perusahaan BUMN sangat rentan terhadap kebijakan yang menghancurkan perusahaan BUMN itu sendiri. Dan impact-nya ini akan sangat panjang,” pungkasnya.