Oleh: Eko Kuntadhi
Kasus Jiwasraya baru saja masuk persidangan. Kayaknya bakalan seru perdebatannya. Masalahnya, kasus ini mengaitkan skenario yang rumit menyangkut patgulipat di pasar modal.
Begini. Sejak 2008 Jiwasraya memang sudah tercatat rugi. Waktu itu, Presiden kita masih SBY. Pada laporan keuangannya angka kerugian mencapai Rp5,7 triliun. Ketika saat itu direksi baru mulai dilantik, mereka sudah dihadapkan pada kerugian yang segunung.
Langkah pertama mereka meminta pemerintah menambal kerugian itu, dengan berbagai instrument keuangan. Tapi kita tahu, 2008 itu sedang terjadi krisis global. Pemerintah gak punya duit banyak untuk menguyur Jiwasraya. Jikapun ada dana, kayaknya lebih diprioritaskan untuk menambal kebocoran di lembaga perbankan. Kasus Century salah satunya.
Walhasil, manajemen Jiwasraya harus mencari akal sendiri bagaimana meneutupi kerugian tersebut. Bersyukur waktu itu soal kerugian belum merebak ke public, jadi Jiwasraya masih punya sedikit modal kepercayaan dari masyarakat untuk tetap menjual produknya. Setidaknya untuk menarik dana lebih besar.
Tapi menjual produk yang biasa saja gak cukup buat mendatangkan duit. Butuh pandapatan lebih besar lagi untuk menambal kebocoran itu. Jiwasraya berinisiatif membuat produk dengan tawaran menggiurkan. Nama produk itu JS Plan, sebuah kombinasi dari asuransi dan investasi. Maksudnya, asuransinya tetap berjalan tetapi dana tidak hilang, plus imbal hasil yang menggiurkan.
Kenapa menggiurkan? Karena imbal hasilnya jauh di atas bunga deposito saat itu. Juga jauh di atas rerata pendapatan pasar modal. Orang bisa membeli polis mulai dari Rp100 juta sampai Rp5 miliar.
Menariknya nasabah bisa membeli polis lebih dari satu.
Karena tawarannya menggiurkan, banyak orang yang punya duit berbondong-bondong membeli produk tersebut. Bayangkan, pada 2015 perolehan premi JS Plan mencapai Rp5,15 triliun atau 50,3% dari total premi kala itu. Pada 2016 malah meningkat jadi Rp12,57 triliun atau 69,5% dari total premi.
Pada 2017, premi JS Plan terus bertambah dan mencapai Rp16,54 triliun. Porsi premi produk tersebut mencapai 75,3% dari total premi Jiwasraya senilai Rp21,91 triliun. Makanya di awal 2013 laporan keuangan Jiwasraya langsung moncer. Kayaknya perusahaan untung.
Padahal sesungguhnya napas Jiwasraya mengandalkan jualan produk yang bersiko tersebut. Semakin dana deras masuk ke perusahaan, akan semakin tinggi juga kewajiban yang harus dipikulnya. Apalagi hasil yang dijanjikan di atas rata-rata.
Komentari tentang post ini