Oleh: Petrus Selestinus
Sudah 3 (tiga) tahun pemerintahan DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, maka selama tiga tahun pula pro-kontra tentang kemampuan Anies Baswedan memimpin DKI Jakarta, tidak pernah berhenti.
Terlebih-lebih tentang bagaimana Anies Baswedan lalai membangun Kota Jakarta ini menjadi lebih baik.
Publik melihat Jakarta semakin hancur, ibarat “jauh panggang dari api” karena janji-janji kampanye Anies-Sandy, tidak satunya kata dengan perbuatan.
Publik secara ekstrim menilai Anies Baswedan bukan saja tidak mampu memenuhi janji kampanyenya sendiri, tetapi juga tidak mampu memenuhi kewajiban melaksanakan program strategis nasional yaitu pembangunan Kota Jakarta sebagaimana digariskan oleh pendahulunya.
Terutama penataan fungsi ruang publik, normalisasi kali untuk mengatasi banjir, membangun lingkungan pemukiman bagi rakyat miskin kota, dll.
Sikap Anies Baswedan yang tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Pusat, karena ingin tampil beda dalam kebijakan mengatur pembenahan Jakarta merupakan kesalahan fatal.
Karena itu berarti Anies Baswedan tidak mau bekerja sama dengan instansi vertikal di daerahnya yang menjadi kewajiban bagi seorang kepala daerah menurut UU Pemda.
Dalam soal PSBB guna mencegah meluasnya penyebaran Pandemi COVID-19, Anies Baswedan dicurigai memiliki agenda tersendiri, sehingga mengabaikan kewajiban mencegah kerumunan masa, saat Rizieq Shihab tiba di Jakarta dan pada Resepsi Pernikahan putri Rizieq Shihab di Petamburan.
Anies Pernah Diperiksa
Presiden Jokowi dan Mendagri tentunya sudah punya catatan tentang dosa-dosa pelanggaran hukum apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan.
Terakhir gubernur terpilih berkat jual ayat dan mayat ini telah diperiksa Polda Metro Jaya, terkait dugaan pelanggaran pidana terhadap pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dimana Anies diduga membiarkan dan/atau memberi izin acara kerumunan ribuan orang pada resepsi pernikahan putri Rizieq Shihab, di Jln. Petamburan, Jakarta Pusat.
Selama menjadi Gubernur DKI, kebijakan Anies Baswedan sering tidak linear dengan Pemerintah Pusat.
Anies Baswedan sering diduga melakukan pelanggaran hukum terkait kebijakannya yang dinilai merugikan kepentingan umum, meresahkan warga karena kebijakannya diduga kuat hanya ditujukan untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Namun demikian Anies Baswedan tidak pernah diproses secara politik untuk dimakzulkan dari jabatannya oleh DPRD DKI, sesuai ketentuan pasal 80 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda.
Tidak adanya langkah politik oleh DPRD DKI, untuk memproses pemakzulan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sesuai kewenangan DPRD, maka kini bola berada di tangan Pemerintah Pusat, karena pasal 81 UU No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemda, memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat untuk memakzulkan seorang Kepala Daerah tanpa proses politik di DPRD.
Wewenang Pusat dan MA
Pemerintah Pusaat memiliki wewenang untuk memberhentikan Anies Baswedan sebagai Gubernur, sesuai ketentuan pasal 81 ayat (1), UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda.
Komentari tentang post ini