Pertama,lebih dari 2.000 kasus intimidasi menurut laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Ini periswa yang tak bisa dimaafkan. Jangankan ribuan, satu pun ini tidak bisa dimaafkan. Saya kira belum satu kasus naik ke pengadilan,” tukas Ray.
Kedua,lebih dari 2.000 kasus rekapitulasi antara suara sah dengan tidak sah tidak sinkron.
Ketiga, dugaan mobilisasi pemilih.
Keempat, hampir 1.000 kasus orang yang sama mencoblos lebih dari dua kali.
“Dengan meningkatnya manajemen keuangan, teknologi dan melibatkan tim adhoc dalam pemilu, pelanggaran ini dianggap hal biasa. Ini jelas buruk. Kalau terjadi pada tahun 1999 dan 2004 bisa dipahami karena teknologi tidak secanggih sekarang, dan belum ada e-KTP waktu itu. Tapi ini terjadi di era e-KTP. Jangankan ribuan, ratusan saja tidak boleh ditoleransi,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Ray mengatakan bahwa Bawaslu perlu dievaluasi.
Sebab, lembaga pengawas pemilu ini mengelola anggaran besar namun kinerjanya minim.
Oleh karena itu, ujarnya, bila hendak menghemat anggaran pemilu, maka yang dihemat adalah anggaran Bawaslu, bukan 1 atau 2 dua putaran penyelenggaraan pemilu presiden.
“Ada yang mengusung satu putaran agar menghemat dana pemilu. Kalau mau hemat dana lebih baik Bawaslu direvisi. Lebih dari Rp40 triliun dana untuk Bawaslu, tetapi kinerjanya tidak lebih hebat dari Dirty Vote,” tambah Ray.
Indentifikasi ANFREL
Melansir keterangan tertulis pada 13 Februari lalu, ANFREL mengidentifikasi masalah-masalah politik dan hukum menjelang pencoblosan.
Komentari tentang post ini