JAKARTA-Keputusan Presiden Joko Widodo menyematkan Tanda Kehormatan Bintang Empat dengan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto menuai kecaman dari sejumlah kalangan, terutama para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).
Mereka menilai kebijakan Jokowi ini sangat kontraproduktif, error in persona dan sewenang-wenang dengan mengabaikan standar Tanda Kehormatan itu.
“Patut disesalkan sikap Presiden Jokowi sama sekali tidak mempertimbangkan Rasa Keadilan Para Korban kerusuhan Mei 1998 yang pada setiap Kamisan demo di depan istana dan rasa keadilan publik yang setiap tahun menuntut hak-hak mereka,” tegas Petrus di Jakarta, Rabu (28/2).
Presiden juga lanjutnya mengabaikan serta tidak mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti asas-asas, tujuan dan syarat-syarat pemberian Tanda Kehormatan sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2009 Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Presiden Jokowi hanya melihat pemberian Tanda Kehormatan, semata-mata sebagai hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 15 UUD 1945.
Tetapi Presiden tidak sadar bahwa hak prerogatif dalam pemberian Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan itu bukanlah cek kosong yang kapan saja bisa diisi seolah-olah berlaku absolut tanpa asas, tujuan dan syarat tertentu.
Padahal UU No. 20 Tahun 2009 Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan telah mengatur syarat-syaratnya secara limitatif.
Seperti diberitakan, Presiden Jokowi pada hari ini, 28 Februari 2024 akan menyematkan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan Menteri Pertahanan yang juga Capres 2024, Prabowo Subianto.
Keputusan ini sesuai Kepres No. 13/TNI/2024 tanggal 21 Februari 2024, tentang penganugerahan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan.
Keputusan Jokowi ini membuat public terperangah.
Bahkan banyak pihak terkaget-kaget karena ujug-ujug Presiden memberikan Tanda Kehormatan berupa Bintang Empat dengan pangkat Jenderal Kehormatan.
Sementara persoalan masa lalu Prabowo terkait peristiwa kekerasan yang memilukan hati rakyat Indonesia karena berkategori melanggar HAM berat sejak tahun 1997 dan kerusuhan Mei 1998 seolah dilupakan.
Kalaupun berproses, itu baru pada masalah pelanggaran Etik oleh DKP yaitu Pemberhentian Prabowo Subianto dari Dinas Keprajuritan TNI, sedangkan proses pidananya jalan di tempat.
DKP dibentuk dengan SK. Pangab No. SKEP/533/P/ VII/1998, tanggal 24 Juli 1998, kemudian DKP melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap Prabowo Subianto dan Saksi-saksi lalu mengeluarkan Keputusan DKP No. KEP/03/ VIII/1998/DKP, tanggal 21 Agustus 1998, yang dalam konsiderans bagian kesimpulan, mengungkap berbagai perilaku buruk Prabowo.
Sejumlah perilaku Prabowo dimaksud yaitu, Prabowo cenderung memiliki kebiasaan mengabaikan sistem operasi, hirarki, displin dan hukum yang berlaku, serta tidak mencerminkan etika profesionalisme dalam pengambilan keputusan dll.
Komentari tentang post ini