JAKARTA-Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot antarbank Jakarta kembali menyentuh level terendah pada perdagangan Rabu (19/8). Mata uang garuda ini terus mengalami tekanan hingga mendekati level Rp 14.000 per dolar AS.
Anggota Komisi XI DPR RI FPDI Perjuangan, Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah menunjukkan sikap serius mempertahankan nilai tukar rupiah guna mengembalikan kepercayaan. Apalagi, sentiman pasar terhadap nilai tukar rupiah saat ini telanjur negatif.
Seperti diketahui, dalam Pidato Pengantar RAPBN 2016, pemerintah mematok asumsi nilai tukar sebesar Rp 13.400 per dolar AS. Angka ini memang sesuai batas atas asumsi makro (Rp 13.000-Rp 13.400) yang telah dibicarakan dengan DPR. “Ini langkah berani. Tetapi harus dibarengi dengan keseriusan pemerintah mempertahankan nilai tukar rupiah ini,” tegas Andreas yang juga alumni Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (19/8).
Namun demikian jelasnya, upaya menjaga nilai tukar rupiah bukanlah hal yang mudah. Karena saat ini ada indikasi kuat telah terjadi perang mata uang (currency war) antara Yuan Tiongkok dan dolar AS.
Sebagaimana diketahui Tiongkok sudah mendevaluasi mata uangnya terhadap dolar AS yang memengaruhi nilai tukar internasional.
Menurutnya, posisi Indonesia yang memiliki kaitan bilateral baik dengan Tiongkok maupun AS mengakibatkan nilai tukar terombang-ambing dalam ketidakpastian. “Jika Pemerintah tidak tegas mengambi sikap, nilai tukar rupiah akan selalu berada di posisi tidak pasti dan efeknya pelaku bisnis juga mengalami situasi yang tidak kondusif,” tutur anggota Komisi Keuangan, Perencanaan Pembangunan, Perbankan DPR ini.
Sementara itu, terkait dengan harga minyak, Andreas mengaku keputusan pemerintah sudah tepat. Pemerintah mengambil batas bawah sebesar USD 60 / barel dari asumsi makro USD 60-USD 70/barel.
Namun gelojak internasional perlu diantisipasi terutama apabila senat AS menyetujui ditetapkannya perjanjian bilateral antara AS dan Iran. “Jika hal itu terjadi, minyak Iran akan membanjiri pasar yang otomatis menyebabkan harga minyak anjlok,” urai politisi asal Dapil Jatim V
Untuk itu, perlu ada skenario agar merosotnya harga mintak dunia dan rupiah tidak berimbas terlalu jauh ke sektor ekspor Indonesia. Sebab Indonesia mengandalkan ekspor komoditas dimana pasar komoditas ini akan terpukul apabila harga minyak dunia merosot.
Kendati menghadapi isu-isu krusial, Andreas mengapresiasi pemerintah merancang asumsi makro dan anggaran yang lebih realistis. Seperti tingkat pertumbuhan menjadi 5.5% pada tahun 2016 dari range 5,5%-6% dalam kerangka ekonomi makro dengan asumsi kondisi ekspor dan impor membaik. “Namun target ini akan susah tercapai apabila tanpa extra effort karena itu pemerintah perlu menjelaskan sumber pertumbuhan baru,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini