Oleh: Edi Danggur, S.H., M.M., M.H
Kita sering menyaksikan diskusi para pengacara yang tergabung dalam acara: ILC -Indonesian Lawyers Club melalui layar kaca TVOne.
Walaupun program acara ILC sudah “almarhum”, tetapi selalu ada dalam ingatan masyarakat bahwa program acara TVOne tersebut menyuguhkan debat sengit di antara para praktisi hukum tersebut. Tidak jarang disertai umpatan-umpatan yang menyerang pribadi lawan debat.
Mereka memang sama-sama berprofesi sebagai lawyer atau pengacara. Tetapi ternyata mereka tidak mempunyai pendapat yang sama mengenai suatu masalah yang sedang mereka diskusikan. Tepat sekali kata oang Jerman : “noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht” – para ahli hukum tidak mempunyai definisi yang sama tentang apa itu hukum (L.J. van Apeldoorn, 2008:1).
Perbedaan pendapat di antara pengacara itu lebih banyak disebabkan karena para lawyer itu mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memandang hukum itu.
Begitu juga dalam dalam memahami persoalan kasuistik tertentu. Cara pandang yang berbeda itu mewakili keberadaannya di ruang publik. Ya, seperti kata orang Romawi: “actor sequitur esse” – orang berperilaku, berbicara atau berargumentasi selalu mewakili keberadaannya.
Begitu juga ketika para pengacara menulis opini di media cetak. Tidak bisa dihindari bahwa substansi opini si pengacara itu justru mewakili watak kemanusiaannya. Dalam konteks kebebasan berekspresi, itu sah. Bahkan sering kita saksikan para pengacara itu saling adu prediksi atas hasil akhir atau putusan atas suatu perkara yang pemeriksaannya sedang berlangsung.
Masyarakat pun dapat dengan mudah menilai pengacara mana yang prediksinya terlalu gegabah dan meleset jauh. Ya bisa terjadi karena prediksi itu hanya mengandalkan persepsi atau intuisi alias minus argumentasi hukum.
Bisa juga terjadi karena “posisi berdiri” dalam kasus itu tidak netral yang dilandasi konflik kepentingan. Marcus Valerius Martialis, penulis epigram (puisi pendek tetapi jenaka untuk sekedar membangkitkan semangat) asal Roma (41-103 M) pernah berujar: “hominem pagina nostra sapit”- apa yang kita tulis, selalu menunjukkan watak kemanusiaan kita (Marwoto-Witdarmono, 2006:107).
Jangan heran kalau ada lawyer yang melihat hukum itu sebagai rentetan pasal-pasal belaka.
Sedangkan lawyer lainnya memandang bahwa pasal-pasal atau undang-undang hanyalah salah satu sumber hukum dan bukan sumber hukum satu-satunya dalam menyelesaikan suatu persoalan dalam masyarakat.
Artinya masih sumber hukum lainnya: hukum adat, doktrin hukum, yurisprudensi, perjanjian atau traktat internasional dan sebagainya.
Memang, tidak semua orang, terutama orang yang awam hukum, bisa begitu mudah menerima perbedaan pendapat di kalangan lawyer itu.
Masyarakat pun main pukul rata saja bahwa lawyer itu adalah kumpulan orang-orang yang lihai dalam berdebat atau suka membantah dan menyangkal.
Penilaian seperti itu adalah bukti bahwa di dalam pikiran masyarakat awam bercampur aduk rasa hormat dan ejekan terhadap pengacara. Dalam situasi dan kondisi tertentu para lawyer itu dihormati dan dipuji.
Hormat dan pujian masyarakat itu menyebabkan kebanyakan dari para lawyer itu menempati posisi tinggi, tidak saja dalam organisasi profesi mereka tetapi juga dalam instansi pemerintahan, legislatif pusat, instansi penegak hukum (kementerian, kejaksaan dan pengadilan).
Mereka juga jadi konsultan hukum di perusahaan-perusahaan swasta nasional maupun perusahaan asing. Lawyer pun dicari kaum awam hukum untuk dimintakan pendapat hukumnya bahkan pendampingan saat masyarakat awam menghadapi masalah-masalah hukum.
Ahli Silat Lidah
Tetapi pada saat yang sama, para lawyer juga diejek dan dicemooh. Mereka sering dicap sebagai ahli silat lidah bahkan dicap penipu.
Jerome Frank (1889-1957), seorang filsuf hukum, mantan hakim, pengacara terkenal dan intelektual bidang hukum, dalam bukunya berjudul Law and The Modern Mind memberikan penjelasan yang cukup panjang mengapa profesi lawyer itu dicintai, dicari, dipuji dan dihormati.
Komentari tentang post ini