“Hal ini tercermin dalam Pasal 69 UU 8/2015 yang melarang segala bentuk kampanye yang bertujuan untuk menghasut atau memfitnah,kata dia.
Pelanggaran atas larangan kampanye hitam diatur dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu, menyebutkan bahwa tindakan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana hingga 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta.
Kampanye hitam, dapat meningkatkan polarisasi di masyarakat, terutama melalui isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
“Isu-isu sensitif ini sering dipolitisasi untuk mengadu domba masyarakat, sehingga mengalihkan perhatian dari debat yang seharusnya fokus pada program kerja,” ungkap Alfa.
Penyebaran hoaks dan kampanye hitam tidak hanya berdampak pada reputasi para kandidat, tetapi terhadap kredibilitas Pilkada itu sendiri.
Pemilih yang terpapar informasi salah akan cenderung membuat keputusan berdasarkan data yang tidak benar, pada akhirnya menurunkan kualitas pemilihan.
“Kami melihat adanya penurunan tingkat partisipasi pemilih di beberapa wilayah karena masyarakat merasa Pilkada dipenuhi oleh kampanye hitam dan tidak lagi adil,” tutur Alfa.
Merusak Pemilu
Hoaks dan kampanye hitam, dapat merusak kredibilitas pemilu sehingga masyarakat memandang proses Pilkada tidak jujur dan penuh dengan kecurangan.