JAKARTA-Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Ismail Hasani menilai ketentuan Pasal 158 UU 8/2015 yang mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil dapat diterimanya suatu perkara perselisihan pemilihan bupati/walikota dan gubernur, membuat peradilan pilkada tidak mampu memberikan keadilan elektoral secara paripurna.
Karena dengan pembatasan tersebut, fakta-fakta kecurangan yang terjadi sama sekali tidak bisa dipersoalkan.
“Dari 10 kota, 103 kabupaten dan 6 provinsi yang sudah mendaftarkan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK), hanya 19 kabupaten yang perkaranya akan diterima dan dilanjutkan ke pemeriksaan materi gugatan. Sisanya, semua akan rontok (dismiss) pada sidang pendahuluan,” ujar Hasani yang juga Direktur Riset Setara Institute di Jakarta, Rabu (23/12).
Termasuk 21 wilayah yang memiliki selisih sangat tipis sekalipun, karena melampaui batas maksimal yang ditetapkan, maka tetap tidak akan bisa mempersoalkan fakta/indikasi kecurangan yang terjadi.
Komentari tentang post ini