JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai paket kebijakan strategi penguatan rupiah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dirasa masih belum cukup dan sifatnya temporer.
Seharusnya, paket ini juga harus diikuti dengan kebijakan untuk menghentikan Perjanjian Perdagangan Bebas yang telah ditandatangani.
Hal ini karena penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas telah merugikan Indonesia dan menjadi satu faktor penghambat perbaikan nilai tukar rupiah.
Manajer Riset & Monitoring IGJ, Rachmi Hertanti, berpendapat bahwa selama ini perjanjian perdagangan bebas telah berkontribusi terhadap peningkatan nilai impor akibat dihapuskannya segala bentuk proteksi pasar dalam negeri.
Namun, disisi lain Pemerintah kesulitan untuk meningkatkan nilai ekspor karena terganjal dengan proteksi yang sering dilakukan oleh Negara-negara tujuan ekspor.
“Selama ini penerapan perjanjian perdagangan bebas sangat tidak adil untuk Indonesia. Kita membuka pasar tanpa proteksi, tetapi disisi lain Negara-negara tujuan ekspor kita menerapkan proteksi begitu tinggi sehingga ekspor kita terhambat. Kalo memang mereka tidak mau membuka pasar lalu buat apa lagi ada perjanjian perdagangan bebas”, jelas Rachmi.
Proteksi yang paling sering digunakan adalah terkait dengan perlindungan kesehatan manusia yang banyak diatur dalam ketentuan tentang Sanitary and Phitosanitary (SPS).
Diantara negara-negara mitra FTA Indonesia seperti Australia, Korea Selatan, dan India lumayan sering mendapat complain terkait penerapan proteksinya di WTO.
Data WTO dari total 42 komplain yang masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO akibat penerapan proteksi terkait dengan SPS kebanyakan ditujukan kepada AS sebanyak 8 Kasus, EU sebanyak 9 kasus, Australia sebanyak 6 kasus, Korea Selatan sebanyak 5 kasus, dan India sebanyak 3 kasus.
Komentari tentang post ini