Sedangkan mekanisme‘Ratchet’mengandung makna setelah berlaku efektifnya perjanjian, liberalisasi yang dikomitmenkan oleh salah satu pihak akan diikat sebagai titik terendah pembatasan liberalisasi negara yang bersangkutan; dengan demikian negara yang bersangkutan tidak diperbolehkan untuk mengurangi level liberalisasinya atau mundur lebih rendah lagi dari komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya, namun liberalisasi lebih tinggi dapat dilakukan.
“Jika aturan RCEP tersebut diterapkan maka akan sangat sulit mengharapkan adanya undang-undang yang pro-rakyat. Apalagi demi menggaet investasi, pemerintah berencana untuk mendorong perubahan berbagai undang-undang demi memuluskan investas, seperti: RUU Minerba, RUU Sumber Daya Air, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dan lainnya. Ini sudah sejalan dengan agenda liberalisasi RCEP”, tegas Arieska Kurniawati dari Solidaritas Perempuan.
Tidak ada pembahasan soal hak rakyat dalam perundingan RCEP. Semua hanya membahas soal hak investor. Pemerintah semata-mata mengundang investasi namun lupa dengan persoalan buruh di Indonesia yang dilanggar haknya oleh investor asing.
“Selama ini tidak ada penegakan hukum yang tegas dari pemerintah terhadap investor yang melanggar hak buruh di Indonesia. Dalam perundingan RCEP, tidak ada pembahasan untuk memastikan negara anggota RCEP untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak buruh di Indonesia, khususnya yang melibatkan investor asing seperti kasus dengan Korea Selatan. Dimana tanggung jawab pemerintah Indonesia terhadap pemenuhan hak buruh yang dilanggar oleh investor?,” jelas Herman Abdulrohman, Ketua FPBI.
Sebagian besar perjanjian perdagangan dan investasi internasional, baik yang sedang dirundingkan seperti RCEP maupun yang telah selesai dirundingkan, tidak pernah dibuka informasinya kepada publik, khususnya teks perjanjiannya termasuk komitmen liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan, proses konsultasi pun tidak dibuka kepada publik, sehingga rakyat kesulitan untuk dapat terlibat secara aktif dalam memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan.
“Proses perundingan sangat tidak demokratis. Tidak hanya tertutup dalam proses perundingan, tetapi DPR RI yang akan meratifikasi perjanjian ini juga tidak pernah membuka ataupun mengundang masyarakat sipil untuk ikut memberikan pandangan terhadap analisis dampak yang akan ditimbulkan oleh perjanjian perdagangan dan investasi internasional tersebut”, tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 telah mengukuhkan kembali perlindungan hak-hak rakyat atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian perdagangan bebas dan investasi internasional. Perjanjian internasional yang berdampak luas tersebut membutuhkan persetujuan rakyat.
Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR RI wajib membuka informasi atau teks dan melibatkan rakyat secara luas dalam proses konsultasinyauntuk mendapatkan pandangan rakyat mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian tersebut terhadap beban keuangan negara yang membebani publik dan terhadap pembentukan undang-undang yang baru
Komentari tentang post ini