JAKARTA– Dinasti politik yang mulai mewabah Indonesia merupakan sebuah ancaman.
Disamping dapat menutup peluang lahirnya pemimpin berkualitas, juga dapat memunculkan tirani dalam bentuk baru.
Bahkan kebebasan berpolitik yang begitu luas menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para aktor politik yang memiliki segala akses untuk menggapai kekuasaan.
Hal ini melahirkan praktik politik dinasti yang dengan jaringannya menjalani politik melanggengkan kekuasaan sehingga melahirkan praktik- praktik politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Petrus Selestinus menilai politik dinasti menciptakan hambatan serius terhadap prinsip demokrasi ini.
Pasalnya, karena mereka mengeksploitasi kekuasaan politik untuk kepentingan keluarga mereka, seringkali tanpa memperhatikan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
“Kekuasaan yang bersumber dari semangat dinasti politik dan nepotisme saat ini telah melanda supra struktur politik pada lintas lembaga tinggi negara dan diperkuat dengan kroni-kroni kekuasaan di lembaga negara. Ini jelas merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan rakyat dan sistem demokrasi,” terangnya.
Padahal sejatinya, Pemilu yang luber dan Jurdil merupakan asas pemilu yang dijamin konstitusi dan UU Pemilu.
Bahkan pemilu dinyatakan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, sebagai implementasi dari prinsip “kedaulatan berada di tangan rakyat” dan dilaksanakan menurut UUD, sehingga wajib dijunjung tinggi oleh siapapun juga.
Namun ketika hasil Pemilu dicoba dimanipulasi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan motif politik dan/atau ekonomi, demi memenangkan Paslon tertentu maka di situlah kejahatan politik terjadi.
“Dan ini mengancam “daulat rakyat” dengan “daya rusak” yang tinggi terhadap sendi-sendi demokrasi, yang harus dicegah melalui upaya hukum yang tersedia. Itu menjadi tugas utama Polri,” pungkasnya.
Komentari tentang post ini