Oleh: Dr. Andry Wibowo., SIK., MH., Msi
Setiap bangsa maupun individu selalu memiliki gagasan besar tentang hidup. Apa, kenapa dan bagaimana tujuan hidupnya.
Gagasan besar lazim disebut cita-cita atau visi.
Sejalan dengan namanya dia terkoneksi dengan target objektif yang ingin dicapai.
Dapat diukur dari sisi waktu dan index capaiannya, baik secara kualitas maupun kuantitas (measurable goal achievements).
Contoh sederhana misalnya, seorang anak remaja yang ditanya tentang apa yang menjadi cita citanya.
Apakah ingin menjadi pengusaha, politisi, polisi, tentara, jaksa, hakim, dokter, ulama bahkan presiden.
Itu merupakan target objektif yang sering diucapkan mereka.
Begitu juga dengan sebuah bangsa.
Para pendirinya dahulu memiliki cita-cita yang ditetapkan sebagai mimpi kolektif (collective dream) masyarakat yang mengikat sebagai satu bangsa.
Sebagai sebuah collective dream, cita-cita atau visi suatu bangsa sangat berhubungan dengan mimpi bersama sebagai bangsa untuk maju, makmur, sentosa, damai dan aman.
Cita-cita dan visi tersebut menjadi norma dasar dan prasyarat dalam mewujudkannya.
Berkaitan dengan sesuatu yang bersifat nyata (tangible) dan sesuatu yang tak berwujud (intangible), seperti halnya karakter, baik individu maupun bangsa.
Karakter bangsa berisi hal yang bersifat utama dan mendasar.
Karena bersifat ideologis dan mesti terinternalisasi serta mewujud dalam jati diri individu setiap warga bangsa.
Hal yang tidak bisa dipertukarkan dengan kepentingan apapun juga (idealistic and absolutisme norm).
Bangsa Jepang misalnya, memiliki karakter yang tercermin dalam Bushidoisme.
Nilai yang menjadi doktrin dan pondasi dasar jati diri bangsa Jepang seperti kesetiaan terhadap bangsa, Tuhan, orang tua.
Keteguhan dalam menghadapi tantangan dan dinamika peradaban, serta keberanian memelihara kehormatan dan martabat bangsa.