Oleh: Edi Danggur
Menjelang pengucapan putusan atas sidang etik oleh MKMK atas perilaku Hakim MK, ada banyak warga masyarakat yang sangat berharap agar Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Apakah mungkin MKMK memutuskan melampaui kewenangannya dengan menyatakan tidak sah atau batal demi hukum Putusan MK tersebut?
Hukum Bukan Sekedar UU
Seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman, Gustav Radbruch (18 November 1878-23 November 1949), mengatakan, dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus selalu ada dalam suatu putusan yaitu: kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Para hakim yang mengandalkan kepastian hukum, mempunyai jargon: meskipun dunia ini runtuh, hukum tetap harus ditegakkan. Bagi mereka, manusia harus mengabdi hukum. Apa kata hukum, itu yang harus dijalankan, sekalipun bunyi undang-undang itu begitu kejam. Diibaratkan secara ekstrim, orang datang ke tukang jahit, tubuhnya dipotong-potong untuk disesuaikan dengan ukuran baju.
Aspek keadilan dalam suatu putusan hakim, selalu bersifat subjektif. Bagi pihak yang menang, putusan hakim dianggap adil, sedangkan tidak adil bagi pihak yang kalah. Maka aspek keadilan dalam suatu perkara tidak pernah benar-benar bersifat objektif.
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Sebab hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Misalnya ada ketentuan hukum, barangsiapa mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistic dan tidak menyamaratakan. Apa yang adil bagi seseorang, bisa jadi tidak adil bagi yang lainnya.
Aspek ketiga, kemanfaatan. Hakim diharapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek kepastian hukum dan keadilan semata-mata, tetapi harus juga aspek kemanfaatannya bagi masyarakat. Dasar pemikirannya, hukum dibuat untuk kepentingan manusia. Jika diibaratkan ke tukang jahit, pakaian yang dipotong untuk disesuaikan dengan ukuran tubuh, agar benar-benar pas dan bermanfaat bagi yang memakainya.
Dalam konteks aspek kemanfaatan itu maka MKMK dapat dibenarkan memutuskan suatu perkara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku (contra legem) atau memutuskan sesuatu yang melampaui kewenangannya.
Tentu saja hal itu tidak dilakukan MKMK secara asal-asalan, tetapi harus dengan argumentasi hukum yang kuat, yang dapat diperdebatkan secara publik, bahwa putusan demikian dilakukan demi kebaikan bagi masyarakat luas.
Komentari tentang post ini