JAKARTA-Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak menjadi pemimpin nasional.
Namun tidak semua warga negara bisa menjadi pemimpin negara ini.
Untuk menjadi pemimpin nasional di masa depan, tidaklah mudah mengingat tantangan dan ancamannya lebih komplek dibanding pada masa sekarang.
Demikian ditegaskan oleh Taprof (Tenaga Ahli Profesional) Bidang Ideologi Lemhannas RI, AM Putut Prabantoro kepada 220 mahasiswa baru INDONESIA BANKING SCHOOL di Jakarta, Selasa (05/09/2023).
Dengan judul paparan, Bela Negara Dan Tantangan Pemimpin Masa Depan Indonesia, Putut Prabantoro juga menegaskan bahwa dalam 22 tahun lagi ke-220 mahasiswa baru akan menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Pada saat itu, mereka menginjak usia 40 tahun pada tahun 2045, tahun emas kemerdekaan Indonesia.
Diurai oleh Putut, syarat pertama menjadi pemimpin masa depan dan harus dipenuhi adalah sehat jasmani, rohani dan ideologi.
Namun ketiga syarat itu belumlah cukup dan harus disempurnakan.
Syarat kedua bagi pemimpin masa depan Indonesia adalah harus cerdas, berkepribadian Pancasila serta visioner.
Untuk menghadapi berbagai tantangan dan ancaman masa depan yang sangat kompleks, pemimpin masa depan Indonesia harus berpegang pada tiga pilar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gubernur Lemhannas, Andi Widjajanto.
Ketiga pilar itu adalah, mutlak berbasis kebangsaan, memiliki wawasan geopolitik, serta berpikir dan bertindak secara strategis.
“Pada tahun 2045, Ibu Kota Nusantara telah menjadi smart city. Karena berstatus smart city, IKN akan memengaruhi kota-kota lain di Indonesia dan berlomba menjadi smart cities lainnnya. Dibangunnya Ibu Kota Nusantara diharapkan juga akan mengubah cara berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku masyarakat Indonesia. Bersamaan dengan itu, penggunaan artificial intelligence dalam kehidupan masyarakat Indonesia akan semakin biasa. Namun hal ini memunculkan berbagai tantangan dan ancaman dalam konteks Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,“ jelas Putut Prabantoro.
Namun demikian, masih menurut Putut Prabantoro, kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informatika seharusnya tidak menggeser atau bahkan menghapus nilai-nilai luhur Pancasila.
Alasannya adalah munculnya fenomena di medsos terkait sikap permisif terhadap nilai-nilai perilaku yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Dan itu, telah terjadi pada saat sekarang.
Kemajuan di bidang artificial intelligence dalam kehidupan masyarakat Indonesia hendaknya juga diantisipasi dampak negatifnya.
Indonesia tidak dapat menghindarkan diri tetapi juga tidak bisa larut.
Komentari tentang post ini