Disisi lain, kata Ray, apakah kalau tidak direvisi Pilkada akan terancam gagal. Dan selanjutnya soal waktu pada Desember 2015, perlu mempertimbangkan berbagai agenda kebangsaan yang lain.
Sementara itu, Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri mempertanyakan niat DPR untuk merevisi UU Pilkada. Oleh karena itu sebelum Pilkada digelar landasan hukumnya sudah aman. “Tapi, kalau terjadi gonjang-ganjing politik sehingga muncul usulan revisi UU Pilkada, apakah hal itu tidak bertentangan dengan UU No.12/2011 tentang proses pembentukan UU?,” terangnya.
Ronald juga meragukan kalau Golkar dan PPP tidak ikut Pilkada, maka akan terjaid konflik. Kemudian apakah UU harus direvisi. Justru ini dipertanyakan, meski tidak tertutup kemungkinan revisi itu.
Karena itu menurut Ronald, apapun produk UU yang dihasilkan harus clear dan jelas serta terkonfirmasi dengan hitung-hitungan anggaran, waktu pelaksanaan, dan sebagainya. Namun dia tidak yakin kalau Golkar dan PPP tidak ikut Pilkada akan terjadi konflik sosial. ‘Jadi, kalau aturannya harus inkrah, ya tunggu putusan MA, karena putusan PTUN itu bisa dieksekusi dengan syarat sudah inkrah,” pungkasnya. (cea)
Komentari tentang post ini