Oleh: MH. Said Abdullah
Semenjak Pemerintah memilih kebijakan defisit anggaran yang dimulai dalam APBN 2000, alokasi anggaran untuk belanja selalu lebih besar dari penerimaan negara.
Kebijakan defisit anggaran ini dipilih, tentu dengan alasan agar besarnya belanja Pemerintah mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi nasional kearah yang lebih baik.
Bahkan, untuk menutup kekurangan anggaran dalam kebijakan defisit, selalu ditutup oleh pembiayaan yang sebagian besar bersumber dari utang.
Oleh sebab itu, guna menjaga agar kebijakan tersebut terkendali, dipayungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana ketentuan batas defisit APBN sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan batas utang sebesar 60 persen dari PDB.
Agar tujuan defisit APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tercapai, syarat mutlaknya belanja pemerintah pusat dan daerah harus berkualitas.
Syarat eksternal, kondisi perekonomian kawasan dan global mendukung bagi pertumbuhan ekonomi.
Kedepan, tampaknya kita masih menghadapi masalah internal dan eksternal.
Kondisi dunia yang sedang tidak menentu akibat Covid-19 telah menyebabkan IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 dipangkas 0,1 persen dari 3,4 persen menjadi 3,3 persen.
Adapun untuk 2021, pertumbuhan dipangkas menjadi 3,4 persen dari 3,6 persen (IMF, 2020).
Kualitas Belanja Pemerintah
Kita masih menghadapi persoalan dalam peningkatan kualitas belanja Pemerintah.
Pengeluaran untuk belanja negara yang dilakukan oleh pemerintah (K/L), ternyata belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, hal ini sejalan dengan temuan Bappenas.
Dimana, dalam setiap peningkatan anggaran belanja K/L sebesar 1 persen akan memberikan berdampak pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen.
Dalam APBN 2017-2018, terjadi peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 11 persen.
Namun, dalam realisasinya pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh sebesar 0,24 persen, dimana seharusnya bisa tumbuh mencapai 0,66 persen.
Ternyata, evaluasi APBN 2015-2019 juga menunjukkan bahwa, alokasi belanja K/L belum sepenuhnya untuk belanja yang bersifat produktif.
Pada periode 2015-2019, belanja pegawai tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 7,5 persen per tahun (CAGR).
Pada periode yang sama belanja barang juga mengalami pertumbuhan 9,3 persen per tahun (CAGR).
Adapun belanja sosial mengalami pertumbuhan 3,9 persen per tahun (CAGR).
Sedangkan belanja modal mengalami pertumbuhan negatif sebesar -4,3 persen per tahun (CAGR).
Artinya selama periode 2015-2019, belanja K/L masih belum bisa dikatakan produktif, karena belanja masih didominasi untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti belanja pegawai dan belanja barang.
Sedangkan belanja modal justru tumbuh negatif.
Arah Baru Belanja Pemerintah
Kami tidak akan bosan-bosannya, untuk selalu mengingatkan Pemerintah dalam setiap pembahasan APBN, agar terus meningkatkan kualitas belanja Pemerintah.
Tidak ada jalan lain, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, diperlukan belanja Pemerintah yang berkualitas.
Komentari tentang post ini