JAKARTA-Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum profesional dalam menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak gelombang pertama pada 9 Desember 2015 lalu. Salah satu indikatornya, banjirnya gugatan pasangan calon (paslon) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tercatat, 149 paslon yang menggugat ke MK.
“Asas pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil masih sebatas slogan, karena politik uang masih marak” kritik Benny yang juga menjabat sebagai Koordinator Ormas Katolik Peduli Pilkada, melalui siaran persnya (31/12).
Seperti diketahui, pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mensyaratkan hanya sengketa dengan selisih suara 0,5% hingga 2% saja yang dapat berlanjut ke persidangan.
“Saya memprediksi tidak lebih dari separuh sengketa hasil pilkada yang diajukan ke MK akan diperiksa lebih lanjut oleh hakim,” tuturnya.
Menurut Benny, Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tersebut menyeleksi penerimaan gugatan oleh MK atas dasar selisih suara berdasarkan jumlah penduduk di provinsi, kota, atau kabupaten yang jadi peserta pilkada. Cakupan selisihnya, dari 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%.
“Semakin banyak jumlah penduduknya, semakin kecil pula persentase selisih suara atas dasar hasil rekapitulasi KPU. Jadi peluang ratusan pasangan calon kepala daerah yang untuk mendapatkan keadilan konstitusional itu terkunci dengan adanya Pasal 158 tersebut ,” urai Benny.
Ia menegaskan pilkada seharusnya memberi kontribusi dalam perkembangan politik yang lebih demokratis. Jangan sampai justru membuat kemunduran peradaban demokrasi. Namun sayangnya, politik uang masih marak terjadi.
“KPU memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan integritas pilkada,” tegasnya.
Ia mengatakan rendahnya kualitas pilkada tahun-tahun sebelumnya, seperti praktik politik uang, intimidasi, jual beli suara, karut marut daftar pemilih tetap, merupakan permasalahan kronis dalam pilkada selama ini.
“Sepertinya KPU masih kedodoran, bahkan dalam hal sosialiasi pilkada pun masih kedodoran. Karena itu, KPU harus kreatif dan inovatif memanfaatkan sosialisasi melalui internet dan media sosial,” sarannya.
Komentari tentang post ini