Selama ini, demikian Benny, Pasal 80 huruf j UU MD3 memberikan kesempatan bagi anggota dewan untuk mengusulkan dan memperjuangkan program daerah pemilihan.
“Biasanya frasa usulan daerah itu yang dijadikan alasan DPR sebagai fungsi representasi,” ucapnya.
Ia mengkritisi selama ini fungsi checks and balances tidak berjalan dengan semestinya.
“Fungsi kontrol tidak pernah terjadi karena dalam prakteknya antara korporasi, legislatif, dan eksekutif saling kongkalikong,” tegasnya.
Ia menambahkan, misalnya kasus raperda tentang reklamasi di DKI Jakarta, aktornya juga sama, yakni korporasi, DPRD, dan pemerintah daerah.
“Jadi sangat tidak mungkin kalau yang terima suap hanya M. Sanusi saja. Pimpinan, ketua fraksi, dan anggota DPRD pasti terima uang panas tersebut. KPK juga harus menyelidiki siapa pihak pemda yang terlibat. Sekali lagi KPK jangan tebang pilih,” ungkap Benny.
Benny menegaskan bahwa sudah banyak korporasi, legislatif, dan eksekutif yang tersandung kasus korupsi karena terlibat mafia anggaran, berperan sebagai calo proyek, dan proyek penyusunan undang-undang atau perda.
Komentari tentang post ini