Oleh: Emrus Sihombing
Sampai saat ini saya melihat belum ada UU, termasuk UU ITE, yang mampu menjawab kecerdasan seseorang atau sekelompok orang menciptkan fenomena kejahatan komunikasi di ruang publik ni negeri ini.
Sebagai contoh, seorang aktor sosial, termasuk aktor politik, yang menggunakan atau bermain simbol (baik verbal maupun non verbal) tertentu dan atau narasi (cerita desktiptif) melakukan kejahatan komunikasi yang sebenarnya dapat dengan mudah ditangkap makna paripurna dari pesan kebohongan melalui studi semiotika dan hermeneutika.
Dengan menggunakan simbol, misalnya, ditulis dengan rangkaian huruf dan angka, seperti “D1P4KS4” yang berada di dalam suatu rangkaian narasi kebohongan. Penggunaan simbol tersebut dengan mudah menangkap makna paripurnanya simbol tersebut sebagai bermakna “dipaksa”.
Dengan menggunakan narasi untuk menyebarkan kebohongan, misalnya, ditulis … bla bla bla .. dan seterusnya yang isinya pesan komunikasi kebohongan yang sebelumnya sudah ada di akun sosial media, namun selanjutnya dipoles dengan narasi yang mengikutinya, seperti menuliskan, “mohon instansi terkait mencek kebenarannya,” yang diletakkan pada posisi lebih “tersebunyi”.
Komentari tentang post ini