Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat.
“RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif.
Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA.
Selain itu, juga Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.
Komentari tentang post ini