Pemerintah, kata dia, telah menjalankan kebijakan mitigasi resiko utang sebagai wujud tata kelola pemerintahan baik (good governance).
Lebih lanjut, Said menerangkan pemerintah telah menjalankan pengaman risiko utang, seperti mengedepankan pembiayaan bersumber dari dalam negeri untuk mendorong pembiayaan lebih mandiri dan mengurangi risiko nilai tukar.
“Terlihat kepemilikan asing terhadap utang pemerintah terus menurun sejak 2019. Kepemilikan asing terhadap utang pemerintah tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, pada akhir tahun 2021 menurun ke posisi 19,05 persen, dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen,” jelasnya.
Ia mengatakan menurunnya kepemilikan asing ke dalam utang pemerintah berdampak menurunnya resiko nilai tukar.
“Tahun 2017 resiko nilai tukar sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 kembali turun ke level 33,5 persen, dan tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 turun di bawah 29 persen,” ucap Said.
Said menambahkan pemerintah telah membuat perencanaan tata kelola kebijakan utang pada rentang 2023-2026 dengan acuan; besaran utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen.
Kemudian, utang jatuh tempo kurang dari 1 tahun terhadap total outstanding maksimal 12,5 persen, average time to maturity/ATM minimum 7 tahun, besaran pembayaran bunga utang terhadap PDB maksimal 3 persen, dan mematok tingkat utang terhadap PDB pada kisaran 40 persen.
“Mengacu pada batasan di atas, keseluruhan postur utang pemerintah belum menyentuh pada “alarm” dari berbagai indikator tersebut. Semisal ATM masih di level 8 tahunan, bunga utang terkelola dengan baik di kisaran 6-7 persen dengan jumlah bunga utang di level 2 persen PDB,” pungkasnya..
Komentari tentang post ini