JAKARTA-Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah meminta pemerintah menyiapkan skenario ekonomi yang firm sehingga bisa menjadi tameng yang kuat bagi APBN.
Langkah ini dibarengi dengan kebijakan logis dan terukur sebagai langkah antisipasi melambatnya ekonomi dunia akibat penyebaran Virus Corona atau 2019 Novel Coronavirus.
“DPR sepenuhnya mendukung langkah pemerintah dalam mengatasi masalah COVID-18 ini secara efektif. Namun, dampak yang paling terasa atas wabah global saat ini kepada negara kita adalah dampak ekonomi. Karena itu, harus ada tameng bagi APBN agar tidak menganggu kinerja ekonomi secara keseluruhan,” ujar Said di Jakarta, Kamis (19/3).
Said mendukung kebijakan Kemenko Perekonomian yang telah mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi kedua.
Point penting dari stimulus ini yakni pada subsidi dan keringanan pajak penghasilan (PPh) sektor tertentu selama enam bulan ke depan.
Selain itu, stimulus ekonomi kedua ini juga mengatur insentif perizinan ekspor dan impor, stimulus bagi debitor yang terkena dampak Covid-19, serta jaminan ketersediaan pangan pokok rakyat selama enam bulan ke depan.
Namun demikian ujar Said semua stimulus fiskal dan nonfiskal ini secara eksponensial akan mengurangi potensi penerimaan, baik pajak maupun nonpajak, setidaknya selama enam bulan ke depan.
Karena itu, sudah seharusnya pemerintah mencari sumber-sumber penerimaan baru yang tidak terkena dampak serius atas Covid-19.
Sebab bila tidak ada penggantinya, target-target penerimaan sebagaimana yang telah dipatok pada APBN 2020 bisa meleset.
Bahkan rantainya akan melebarkan jurang defisit APBN. Hal ini pada akhirnya memperlihatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan belanja negara yang memang telah dipatok pula.
“Jadi saya menyarankan pemerintah mengkaji sumber-sumber penerimaan baru,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini mengusulkan lima langkah yang dapat ditempuh pemerintah guna memperkuat APBN.
Pertama, ekstensifikasi cukai yang bersumber dari bahan bakar minyak (BBM). Konsekuensinya, harga BBM akan bertambah dengan pengenaan cukai, namun pada saat yang sama harga minyak dunia sedang drop ke posisi USD 30.
“Mungkin bisa jadi bahan pertimbangan: BBM diturunkan Rp 600 per liter dan pada saat yang sama dikenai cukai Rp 100 per liter,” urainya.
Selain BBM, pemerintah perlu memperluas basis pengenaan cukai. Misalnya, minuman berpemanis dan penggunaan ponsel. Dalam situasi sulit, kebijakan substitutif seperti ini akan terasa sangat penting. Untuk itu, perlu komunikasi dengan para stakeholder agar implementasinya berjalan mulus.