Dikatakan Dwi, padahal kebutuhan gula di Jatim mencapai 370.000 ton/tahun.
Dengan jumlah kebutuhan yang cukup besar itu, maka diduga Permenperin menguntungkan AGRI.
“Alasannya, industri gula di Jatim tidak mampu memenuhi kebutuhan atau dalih irasional lainnya semacam tidak adanya perkebunan,” ungkapnya.
Selain itu, dia juga menyoroti konsistensi pemerintah terkait perlunya investasi dan inovasi guna mendorong percepatan ekonomi.
“Sebelumnya Pemerintah menginginkan agar investasi dan inovasi jadi skala prioritas dalam menggenjot atau menstimulus perekonomian.”
Namun kenyataannya, lanjut Dwi lagi, dengan adanya Permenperin 03/2021 justru pabrik gula dan pabrik mamin di Jatim yang sudah menerapkan Industry 4.0 dengan biaya ratusan miliar rupiah untuk handling bulk dan sugar sirup tidak terpakai lagi dan terancam mangkrak.
“Padahal disamping efisien, bulk dan sugar sirup juga untuk atasi rembesan,” tegasnya. ***
Komentari tentang post ini