JAKARTA-Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk memasuki era kendaraan listrik.
Tekad ini diperkuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.
”Berikutnya, dalam Rencana Pengembangan Industri Nasional (RIPIN), prioritas pengembangan industri otomotif pada periode 2020 – 2035 adalah pengembangan kendaraan listrik beserta komponen utamanya seperti baterai, motor listrik, dan inverter,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada acarawebinar yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) dengan tema “Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi”, Jumat (15/10) .
Menperin juga mengemukakan, Pemerintah telah menetapkan peta jalan (roadmap) pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri (TKDN).
”Regulasi ini berfungsi sebagai petunjuk atau penjelasan bagi stakeholder industri otomotif terkait strategi, kebijakan dan program dalam rangka mencapai target Indonesia sebagai basis produksi dan ekspor hub kendaraan listrik,” ungkapnya.
Menurut Agus, untuk menciptakan ekosistem dalam pengembangan kendaraan listrik, diperlukan keterlibatan dari para pemangku kepentingan yang meliputi industri otomotif, produsen baterai, dan konsumen.
”Bahkan, dalam upaya pengembangan BEV ini juga memerlukan kegiatan pilot project serta ketersediaan infrastruktur seperti charging station,” ujarnya.
Pemerintah menargetkan produksi BEV pada tahun 2030 dapat mencapai 600 ribu unit untuk roda 4 atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda 2.
”Produksi kendaraan listrik diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda 4 atau lebih dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda 2,” sebut Menperin.
Selain itu, dalam rangka mendorong industrialisasi BEV, pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen BEV, seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% (PP No 74/2021), pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0% untuk KBLBB di Pemprov DKI Jakarta (Pergub No 3/2020).
Selanjutnya, BBN-KB sebesar 10% Mobil Listrik dan 2,5% Sepeda Motor Listrik di Pemprov Jawa Barat (Perda No. 9/2019), Uang muka minimum sebesar 0% dan suku bunga rendah untuk kendaraan listrik (Peraturan BI No 22/2020), diskon penyambungan dan penambahan daya listrik, dan sebagainya.
Sementara itu, bagi perusahaan industri BEV dapat memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Tax Holiday atau Mini Tax Holiday (UU 25/2007, PMK 130/2020, Per BKPM 7/2020), Tax Allowance (PP 18/2015 Jo PP 9/2016, Permenperin 1/2018), Pembebaasan Bea Masuk (PMK 188/2015), Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, serta Super Tax Deduction untuk kegiatan R&D (PP 45/2019, dan PMK No.153/2020).
Seiring kebijakan tersebut, guna mempercepat popularisasi penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri, pemerintah akan menetapkan peraturan tentang peta jalan pembelian kendaraan listrik di instansi pemerintaha.
”Dalam roadmap yang dirancang hingga tahun 2030 tersebut, diperkirakan pembelian kendaraan listrik untuk roda 4 akan mencapai 132.983 unit, sedangkan untuk kendaraan listrik roda 2 akan mencapai 398.530 unit,” imbuhnya.
Memiliki Peran Strategis
Menperin menambahkan, meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik dinilai akan mendukung peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik.
Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.
”Saat ini, ada sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai, yang meliputi lima perusahaan penyedia bahan baku baterai terdiri dari nikel murni, kobalt murni , ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lain-lain, serta empat perusahaan adalah produsen baterai,” ungkapnya.
Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV.
”Masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor yang membuat baterai lebih murah, termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen,” paparnya.
Oleh karena itu, industri baterai di Indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan karena akan membawa dampak pada baterai yang lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat.
”Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi,” tandasnya.
Menurut Menperin, penjualan battery electric vehicle (BEV) mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun di tengah masa pandemi Covid 19.
”Diperkirakan penjualan BEV untuk jenis kendaraan penumpang pada tahun 2021 akan mencapai lebih dari 28 juta unit dengan market share sekitar 30%,” sebutnya.
Pertumbuhan tersebut berdampak pada peningkatan kebutuhan lithium ion battery (LIB) sebesar 1,65 juta GWh pada tahun 2030, serta kebutuhan infrastruktur charging station sekitar 9,89 juta unit pada tahun yang sama.
”Tingginya proyeksi peningkatan populasi kendaraan listrik dunia sedikit banyak dipengaruhi oleh global initiative campaign yang diprakarsai oleh berbagai negara maju dengan bekerjasama dengan para produsen EV global serta organisasi nirlaba lainnya,” papar Agus.
Komentari tentang post ini