SURABAYA-Persidangan kasus penipuan terhadap kongsi Pasar Turi yang menjerat Bos PT Gala Bumi Perkasa (GBP) Henry Jocosity Gunawan sebagai pesakitan kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN), Senin (22/10).
Dalam sidang yang diketuai majelis hakim Anne Rusiana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darwis dan Harwaedi menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Surabaya, Prof DR Nur Basuki,SH,M.Hum sebagai ahli pidana.
Dalam keterangannya dipersidangan, Nur Basuki membedah unsur pidana penipuan yang dilakukan terdakwa Henry melalui contoh kasus yang berkaitan dengan perkara ini.
Menurut Nur Basuki, tindak pidana penipuan memiliki dua unsur, yakni objektif dan subjektif. Dari keterangan secara abstrak, Ahli pidana ini menyimpulkan adanya perbuatan pidana penipuan yang dilakukan terdakwa Henry terhadap tiga pengusaha asal Surabaya yang menjadi korban rangkaian kata bohong, tipu muslihat dengan menggunakan nama palsu dan martabat palsu, sehingga para korban tergerak untuk menyerahkan modal dengan janji mendapatkan saham dan keuntungan.
“Jadi saat ada kata bohong yang sebenarnya tidak ada dan tidak sesuai fakta, kemudian menyebabkan seseorang tergerak hatinya untuk menyerahkan uang, maka itu sudah termasuk penipuan,” terang Nur Basuki menjawab pertanyaan jaksa Darwis pada persidangan diruang Cakra, PN Surabaya, Senin (22/10).
Nur Basuki juga menjawab secara tegas terkait pertanyaan yang diajukan Agus Dwi Warsono selaku tim pembela terdakwa Henry yang menanyakan apakah ada rangkaian kata bohong yang dilakukan kliennya, terkait ajakannya pada para kongsi untuk menyetorkan modal saham ke perusahaan terdakwa dan selanjutnya dibuatkan akte kesepakatan Nomor 18 Tahun 2010 untuk menegaskan bagian sahamnya.
“Perlu untuk diuji apakah dalam kasus jual beli saham ini apakah terdakwa benar-benar memiliki saham di perseroan itu. Jika bukan sebagai pemilik dan pemegang saham maka itulah tipu muslihatnya, yakni bukan pemilik dan pemegang saham tetapi mengaku pemegang saham seperti yang ditunjukkan di akte no.18 itu,” tegas Nur Basuki menjawab pertanyaan tim pembela terdakwa Henry.
Pertanyaan tim pembela Henry menyoal kasus pidana yang disidangkan ini berdasarkan bukti-bukti dalam perkara perdata yang sudah dimenangkannya dimentahkan oleh Nur Basuki.
Guru besar FH Hukum Unair ini menerangkan, bukti berupa Bilyet Giro (BG) yang diserahkan terdakwa Henry dan kesepakatan penyelesaian tahun 2013 yang dipakai sebagai alat bukti di perkara perdata tidak ada pengaruhnya dengan perkara pidana yang saat ini sedang disidangkan.
“BG itu adalah salah satu bentuk jaminan saja dan diberikan atas prestasi yg belum diserahkan oleh terdakwa di akte no. 18. BG disini adalah jaminan dan bukan alat pembayaran dan jika ada tipu muslihat sebelum akte 18 tahun 2010 itu, maka kesepakatan penyelesaian termasuk adanya BG tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap pidana nya,” terang Nur Basuki.
Sementara terkait dengan realisasi saham yang dijanjikan kepada korban diperusahaan terdakwa dianggap Ahli tidak sah. Dimana saat melakukan perubahan kepemilikan saham, harus dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang selanjutnya harus dilaporkan ke Ditjen AHU Kementerian Hukum & HAM.
“Perubahan kepemilikan saham itu bisa dilihat dari keputusan RUPS dan harus ada disetujui oleh ditjen AHU baru sah namanya,” ungkap Nur Basuki menjawab pertanyaan dari terdakwa Henry.
Tak puas dengan jawaban Ahli pidana ini, Bos PT.GBP kembali mengelak dengan menyebut jika kesepakatan yang dibuat sudah terpenuhi dengan bukti adanya realisasi dimasukannya para kongsi ke dalam manajemen PT.GBP. Namun pertanyaan Henry itu kembali dimentahkan Nur Basuki.
“Pak Henry, manajemen dan pemegang saham itu hal yg berbeda, jadi manajemen belum tentu pemegang saham begitu juga sebaliknya. Dan lagi jika itu sudah dipenuhi sesuai akte no.18 maka tentunya tidak perlu lagi kan notulen penyelesaian yang sampai sekarang tidak diterima,” ucap Nur Basuki yang disambut anggukan kepala oleh Henry sebagai tanda kata sepakat atas jawaban ahli pidana tersebut.
Komentari tentang post ini