JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) memberi singnal kuat mendiskualifikasi permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pasangan calon No Urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diajukan pada 24 Mei 2019 maupun versi perbaikan 10 Juni 2019. Hal ini tercermin dari sikap Kepaniteraan MK yang hanya menjadikan Permohonan PHPU Perbaikan sebagai “lampiran” dalam Permohonan PHPU sebelumnya.
“Saya kira, MK melihat Paslon Nomor Urut 02 tidak sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk menempuh upaya hukum ke MK, karena sejak awal konsepnya adalah menggunakan kekuatan people power guna kendapatkan kekuasaan dengan mengabaikan mekanisme konstitusional ke MK,” ujar Anggota Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), Petrus Salestinus di Jakarta, Kamis (13/6).
Menurut Petrus, ketidakseriusan Paslon 02 ini mengakibatkan Permohonan PHPU yang dibuatpun amburadul dan formalistis. Karenanya, sangat beralasan untuk didiskualifikasi pada sidang tanggal 14 Juni 2019 nanti.
Petrus mengatakan MK berwenang mendiskuafifikasi Permohonan PHPU diajukan Prabowo-Sandi pada persidangan Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 14 Mei 2019. Alasannya, PHPU yang diajukan dengan 7 (tujuh) Petitum secara alternatif dimaksud, sama sekali tidak menggambarkan secara formil dan materil substansi sengketa PHPU.
Khususnya tentang “Hasil Penghitungan Suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon”.
“Saya melihat, petitium yang disampaikan sama sekali tidak memuat uraian Penghitungan Suara yang benar menurut Pemohon dengan Penghitungan Suara yang salah yang sudah ditetapkan oleh KPU RI atau Termohon,” terangnya.
Anehnya lagi, Paslon Nomor Urut 02 dalam uraian Permohonan PHPU tanggal 24 Mei 2019, justru hanya mengangkat isu-isu pelanggaran yang menurutnya terjadi selama tahapan-tahapan Proses Pemilu 2019 dan meminta agar MK memeriksa dan mengadili dengan putusan yang mengabulkan seluruh Permohonan Pemohon.
Padahal UU Pemilu dan UU MK sudah mengatribusikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pelanggaran dan Proses Pemilu pada BAWASLU, KPU, GAKUMDU, PTUN dan MA.
“Sedangkan keberatan terhadap Penetapan Perolehan Hasil Pemilu sepenuhnya menjadi wewenang MK secara “dominus litis”,” ujarnya.
Komentari tentang post ini